Sabtu, 01 Agustus 2009

Siapa Berani Sidik BPKS?

HASIL audit coverage Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI pada realisasi anggaran Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) tahun 2006-2007, menemukan beberapa penyimpangan keuangan negara. Dari 44 kontrak senilai Rp73,572 miliar (sumber dana APBN, APBA, dan pendapatan lainnya) yang diaudit, BPK menemukan 14 penyimpangan yang merugikan keuangan negara senilai Rp23,817 miliar.

Sebelumnya, BPK juga menemukan kejanggalan-kejanggalan yang merugikan negara pada pelaksanaan pembangunan dermaga Sabang. Dalam proyek tersebut, BPK mensinyalir BPKS melakukan kelebihan bayar kepada perusahaan rekanan mencapai Rp2,7 miliar. Namun, menurut Sekretaris BPKS Abul Halim, pihaknya telah menarik kembali kelebihan bayar itu Rp657.040.263 dan sudah dikembalikan ke kas negara.

Sementara itu, Forum Anti Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA) juga menemukan sejumlah penyimpangan pada proyek-proyek BPKS. LSM Antikorupsi itu ikut mempertanyakan kebijakan rekrutmen dan penggajian sembilan asisten teknis dan sembilan staf ahli oleh Kepala BPKS sejak Tahun Anggaran (TA) 2007. Mereka menilai, rekrutmen tersebut cacat hukum, karena bertentangan dengan UU 37 Tahun 2000 dan Pergub 37 Tahun 2007. Belum lagi proses pembebasan tanah yang ditengarai sarat masalah.

Dari sekian kasus dugaan penyimpangan yang ditemukan itu, kini melahirkan pertanyaan besar yang terus mengganggu pikiran publik, mengapa tidak pernah ditindaklanjuti para pihak yang berkompeten? Apakah semua dugaan penyimpangan itu sebatas kelalaian administrasi ataukah ada unsur tindak pidana korupsi di sana?

Anggota Komisi C DPR Aceh, Surya Darma menilai, seharusnya yang paling bertanggung jawab terhadap penyimpangan di BPKS adalah Dewan Kawasan Sabang (DKS) yang diketuai Gubernur Aceh. Namun, anehnya, DKS terkesan tidak punya nyali untuk mengontrol setiap kegiatan di BPKS. Padahal pengawasan dari DKS terhadap BPKS telah diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 37/2000 tentang pengelolaan Kawasan Bebas Sabang. UU ini menugaskan DKS untuk memantau dan mengawasi kerja BPKS agar berjalan seperti yang diharapkan.

“Namun tindak lanjut ini dari tahun 2006 hingga sekarang tidak ada. Atas hal ini, timbul dua asumsi, yaitu DKS yang diketuai oleh Irwandi ‘terlalu harmonis’ dengan BPKS. Atau sebaliknya, DKS dengan BPKS tidak rukun sehingga tidak dapat bekerja sama. Akhirnya, BPKS bekerja tanpa pemantauan DKS,” jelas anggota dewan dari Fraksi PKS ini saat dimintai pendapatnya, beberapa hari lalu.

DKS Ompong?

Melihat cara kerja pengurus DKS selama ini, maka masyarakat pun mulai mempertanyakan keberadaan dewan tersebut. Apakah DKS sekedar pajangan? Buktinya, hingga kini belum terlihat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 37/2000 tentang pengelolaan Kawasan Bebas Sabang.

Apalagi orang-orang yang duduk di Kepengurusan DKS selama ini terkesan sangat hati-hati dalam menyikapi berbagai dugaan penyimpangan di BPKS. Hal ini juga dialami tim Harian Aceh yang berkali-kali mencoba menanyakan persoalan itu kepada orang-orang di kesekretariatan DKS. Setiap kali disinggung masalah BPKS, mereka selalu mengaku tidak punya wewenang untuk berbicara terlalu jauh tentang lembaga yang diketuai Saiful Achmad itu. Bahkan terkesan, para pengurus DKS sedang menjalankan gerakan tutup mulut menyangkut persoalan di tubuh BPKS. Ada apa dengan mereka?

Memang, pada 14 Maret 2009, pengurus DKS mengadakan rapat dengan Tim Advisory BPKS. Rapat yang digelar berdasarkan surat dari Tim Advisory Nomor D2/TA-BPKS/2009 dan Undangan Gubernur Aceh Nomor 510/11423 itu melahirkan sembilan poin kesimpulan, yakni:

1. Sekretariat DKS harus dikepalai oleh seorang yang profesional.
2. Sekretariat DKS segera menyurati UNDP untuk memberikan hasil syudy mereka terhadap dua feasiability studies (USTDA) dan DPC).
3. Sekretariat DKS segera membuat surat keputusan baru tentang Tim Advisory yang sesuai dengan Pergub 37 tahun 2007.
4. Sekretariat DKS segera membuat SK untuk pelaksanaan perombakan seluruh manajemen BPKS sesuai dengan hasil rapat-rapat sebelumnya.
5. Sekretariat DKS segera membentuk Tim Audit Independen untuk melakukan forensic audit BPKS sampai 2009.
6. Seluruh surat yang menyangkut dengan BPKS harus masuk melalui sekretariat DKS.
7. Manajemen BPKS harus berdomisili di Kota Sabang dan semua kantor perwakilan di luar Sabang harus dibubarkan.
8. Selain tim advisory yang dibentuk oleh ketua DKS dalam keputusan ketua DKS nomor:193/056/2006, harus segera dibubarkan.
9. BPKS agar segera melaksanakan Pergub 37 tahun 2007 secara penuh.

Kesimpulan rapat tersebut ditandatangani Bukhari Daud (Anggota DKS) , Munawar Liza Zainal (Anggota DKS), T. Said Mustafa (Wakil Kepala Sekretariat DKS), A. Hamid Zein ( Sekretaris Sekretariat DKS), Ibrahim Abdullah (Ketua Tim Advisory), Said umar Husein (Anggota Tim Advisory), Jasman J Ma’aruf (Anggota Tim Advisory), Jamaluddin Ahmad (Anggota Tim Advisory), dan Asyiek Ali (Anggota Tim Advisory).

Namun, boleh jadi, kesimpulan rapat itu hanya sebagai bundel administrasi DKS. Sejauh mana realisasinya pun tak jelas. Buktinya, sampai sekarang beberapa poin dari kesimpulan itu secara kasat mata belum ditindaklanjuti.

Sebagai contoh, DKS belum pernah menginformasikan ke publik tentang pembentukan Tim Audit Independen untuk melakukan forensic audit BPKS sampai 2009. Sejatinya, guna mencermati apakah telah terjadi penyimpangan atau tidak dalam penggunaan anggaran BPKS selama ini, memang harus dilakukan audit secara menyeluruh. Apalagi, sejauh ini masyarakat belum pernah mendengar adanya pertanggungjawaban seputar kucuran anggaran yang dikelola BPKS.

Kemudian, hingga kini BPKS masih berkantor di Banda Aceh, sementara hasil rapat tersebut merekomendasikan Manajemen BPKS harus berdomisili di Kota Sabang dan semua kantor perwakilan di luar Sabang harus dibubarkan. Dengan demikian, keputusan rapat itu memang tidak ada tindak lanjut sama sekali. Kalau pun ada, sebatas menjadi kertas pembungkus cabe atau ikan asin di pasar-pasar tradisional.

DPRA Mengelak

Semula Wakil Ketua DPRA Tgk H Raihan Iskandar Lc sempat menyatakan pihaknya mengirimkan tim investivigasi pengadaan tanah ke Sabang. Tim itu, kata dia, ditugaskan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan pada proses pembebasan tanah warga oleh BPKS.

“Anggaran BPKS yang setiap tahun naik 100 persen dengan nilai ratusan miliar rupiah hanya dijadikan untuk program jual beli tanah masyarakat. Karenanya, kami mengirimkan tim investivigasi ke Sabang,” ujar Tgk H Raihan Iskandar Lc, sebagaimana diberitakan Harian Aceh edisi Sabtu (4/7).

Menurut dia, selama enam bulan terakhir pihak DPRA banyak mendapat laporan dari masyarakat tentang proses pengadaan tanah oleh BPKS yang dilakukan di luar prosedur. “Berdasarkan laporan yang kami terima, BPKS juga sering tidak melibatkan Pemko Sabang dalam pengadaan tanah yang dibeli dengan uang negara dari APBN maupun APBA,” lanjutnya.

Alasan lain DPRA mengirimkan tim tersebut, kata dia, karena dewan juga mendapat laporan hasil pemeriksaan BPK bahwa pengadaan tanah yang dilakukan BPKS secara luar biasa. “Luar biasa ini dimaksudkan, selama hampir tiga tahun terakhir, ringkasan anggaran BPKS tidak lebih hanya program pengadaan tanah untuk investasi. Tanah masyarakat yang dibeli pun secara aneh dan di luar prosedur,” jelas Raihan, tanpa mau merincikan maksud aneh tersebut.

Akan tetapi, ketika dikonfirmasi ulang dua hari kemudian, Raihan menyatakan pihaknya baru sebatas mewacanakan pengiriman tim. Tim tersebut juga tidak jadi dikirimkan dengan alasan bahwa masalah pembebasan tanah merupakan wewenang DPR RI karena anggaran yang digunakan BPKS bersumber dari APBN.

Alasan tersebut tentunya tak masuk akal. Karena, dalam pengadaan tanah, pengadaan mobil dan kendaraan roda dua untuk pimpinan dan karyawan atau pengeluaran lain untuk pengadaan aset tidak bergerak, BPKS juga mendapatkan kucuran dana yang bersumber dari APBA. Maka, DPRA juga berhak melakukan chek and richek atau pengawasan terhadap proyek dan program kerja BPKS.

Selain itu, kalaupun yang digunakan adalah dana APBN, DPRA juga berhak merespon setiap laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan. Apalagi persoalan itu berimbas langsung pada masyarakat di daerah ini. Paling tidak, pihak DPRA dapat mengetahui persoalan yang sebenarnya dan mengumumkannya ke publik. Sehingga, tidak menimbulkan fitnah di masyarakat dan tidak ada pihak yang dirugikan oleh dugaan-dugaan penyimpangan yang terus dipertanyakan publik itu. Atau jangan-jangan dugaan penyimpangan di BPKS memang dilatarbelakangi oleh penyimpangan struktural yang terorganisir?

Kalau memang demikian, tentunya sangatlah berbahaya. Bila pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah tidak peduli dengan laporan-laporan masyarakat, lalu di mana lagi ruang publik untuk mengadukan permasalahan yang terjadi di depan mata mereka?

Karenanya, untuk mengungkap berbagai dugaan penyimpangan di BPKS sebagaimana temuan BPK dan FAKTA, rasanya sangat diperlukan tindakan pro-aktif dari aparat penyidik. Pola penegakan hukum kekinian tidak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional melalui sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget. Maka, faktor keberanian pun menjadi penting. Tapi, siapa berani sidik BPKS? Jawaban itulah yang kini dinantikan publik.(tim)

T Syaiful Achmad: Kami Bekerja Sesuai Aturan

Menyikapi berbagai temuan Forum Anti Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA), Kepala BPKS T Syaiful Achmad menyatakan pihaknya sudah bekerja sesuai aturan. Untuk rekrutmen beberapa staf ahli di BPKS, kata dia, dilakukan sesuai petunjuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Staf ahli tersebut merupakan pegawai non-struktural dengan masa kerja sementara sehingga pengangkatannya menjadi wewenang penuh kuasa anggaran BPKS.

“Jadi, rekrutmen staf non-struktural ini tidak perlu dilaporkan ke Dewan Komisi Sabang (DKS), dan sudah diatur dalam DIPA. Rekrutmen ini cukup kebijakan saya sebagai kuasa pengguna anggaran,” kata Syaiful kepada Harian Aceh, Rabu (9/7) lalu.

Syaiful menjelaskan, perekrutan staf tersebut guna membantu tugas BPKS dalam menyukseskan program pengembangan Sabang. Kepada staf tersebut, kata Saiful, juga tidak mewajibkan berkantor di BPKS dan membuat laporan kerja.

Syaiful menyayangkan sikap FAKTA yang terlalu cepat melaporkan ke media tentang indikasi yang mereka temukan. “Sementara hingga kini mereka tidak pernah mengecek ke kami tentang kebenaran penyimpangan yang mereka temukan tersebut. Mereka hanya berkoar-koar di media berdasarkan data-data tidak jelas,” tandasnya.

Menyangkut dana kelebihan pembayaran kepada dua kontraktor pelaksana Pembangunan Dermaga Bongkar dan Dermaga Pelabuhan Sabang, sebelumnya Sekretaris BPKS Abdul Halim menyatakan pihaknya telah menarik kembali sebagian dana kelebihan pembayaran tersebut.

“Dari PT Nindya Sejati kami tarik kembali Rp657.040.263,“ ujar Abul Halim, yang dikonfirmasi Harian Aceh, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pengembalian uang negara dari PT Nadya Sejati itu dilunasi pada 26 April 2009 yang disetorkan ke rekening perbendaharaan Negara KPPN Banda Aceh dengan nomor rekening 2020114 di PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh, tertanggal 28 April 2009.

Namun, dari Rp2,7 miliar kelebihan pembayaran atas pembangunan dermaga tersebut, pihak PT. Andesmont Sakti belum mengembalikan baja profil H senilai Rp1.440.000.000 sebagaimana yang disebutkan dalam audit BPK tidak ditemukan di lapangan. “Untuk pengembalian keuangan BPKS dari PT Andesmont itu sedikit mengalami kendala. Karena, baja profil H senilai Rp 1.440.000.000 yang menurut BPK tidak ditemukan di lapangan telah dikembalikan oleh pihak rekanan ke BPKS,” sebut Abdul Halim saat itu.

Sementara pihak BPK, lanjut dia, menganggap baja profil H itu tidak dapat diterima sebagai pengembalian keuangan negara karena saat dilakukan audit barang berharga miliaran itu tidak ada di lapangan.

Meski begitu, menurut Kepala BPKS Saiful Ahmad yang dikonfirmasi ulang, pihak Andesmont akan segera melunasi kelebihan pembayaran itu sesuai audit BPK RI Rp2.069.946.100. “Jadi, persoalan itu kami anggap selesai,” katanya.(tim)

Comments :

0 komentar to “Siapa Berani Sidik BPKS?”


Posting Komentar