Rabu, 26 Agustus 2009

Kaos Anti Islam Dipakai Anak SD di AS


Seorang anak perempuan berumur 10 tahun telah diminta pulang kerumahnya oleh pihak sekolah pada hari pertama ia kembali masuk sekolah di Gainesville karena mengenakan kaos yang dianggap provokatif.

Faith Sapp nama anak perempuan tersebut mengenakan kaos sewaktu masuk ke sekolahnya pada hari Senin lalu dengan kalimat “Islam Is Of The Devil” tercetak di kaosnya. Kalimat yang sama juga tertulis di kaos yang dikenakan ayahnya di sebuah pusat peribadatan, tempat di mana ayahnya menjabat sebagai pastor disana.

Ayah Sapp membiarkan anak perempuannya mengenakan kaos tersebut, akan tetapi pihak sekolah mengatakan bahwa pakaian yang dikenakan oleh Sapp bertentangan dengan aturan sekolah. Aturan berpakaian di sekolah menyatakan bahwa seorang siswa harus mengenakan pakaian yang tidak menyinggung sentimen terhadap golongan tertentu dan harus sesuai dengan kepatutan sekolah.

Sapp mengatakan bahwa dirinya sudah merasakan akan mendapat respon dari kaos yang ia kenakan.

“Saya pikir mereka pihak sekolah akan menelpon dan memanggil orang tua saya. Saya mengharapkan hal itu di hari pertama masuk sekolah,” kata Faith Sapp pelajar pada SD Talbot.

Pihak dewan sekolah mengatakan bahwa Sapp tidak akan diskor atau dikeluarkan dari sekolah dan ia bisa kembali bersekolah pada hari Selasa besoknya, namun dia harus mengikuti aturan berpakaian yang ditetapkan sekolah. (eramuslim, 26/8/2009)

Read More......

Sembilan Potensi Kekeliruan Yudhoyono


Adab berdemokrasi meminta siapa pun untuk siap menerima kemenangan dan kekalahan. Keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak semua gugatan pasangan Megawati SoekarnoputriPrabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto menandai usainya sengketa hasil Pemilihan Umum Presiden 2009. Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pun resmi menjadi pemenang

Demikian Eep Saefulloh Fatah, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam kolom Analisis Politik Koran Kompas, hari ini ( 18/8) memulai artikelnya.Maka, siapa pun, termasuk kita, selayaknya mengakui Yudhoyono-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Lalu, siapa pun hendaknya mulai mengoptimalkan ikhtiar untuk menyokong perbaikan Indonesia selama lima tahun ke depan dengan cara masing-masing, dari dalam maupun dari luar kekuasaan pemerintahan baru.

Izinkan saya memulai ikhtiar itu dengan mengingatkan Yudhoyono akan sembilan potensi kekeliruan yang bisa dilakukannya sebagai presiden periode 2009-2014.
Tiga potensi kekeliruan pertama berpotensi dibentuk oleh sikap akomodatif Yudhoyono yang berlebihan. Pertama, mengakomodasi semua (23) partai peserta resmi koalisi penyokongnya ke dalam kabinet dan/atau pos-pos pemerintahan lainnya. Akomodasi semacam ini ditandai oleh berlebihannya jumlah dan proporsi wakil partai sambil terabaikannya kompetensi mereka.

Kedua, mengakomodasi berlebihan wakil lima partai utama peserta koalisi ke dalam kabinet dan pos-pos kantor eksekutif Presiden. Hal ini berpotensi membatasi kemungkinan terbentuknya kabinet yang kompeten, profesional, dan punya integritas.
Ketiga, tergoda memperluas dukungan dalam legislatif dengan menarik masuk Partai Golkar ke barisan pendukung pemerintahan melalui Munas Partai Golkar dan/atau PDI-P melalui pertukaran kepentingan politik jangka pendek. Alhasil, SBY-Boediono akan tersokong oleh koalisi tambun berkekuatan di atas 70 persen kursi legislatif.
Namun, sebagaimana terbukti sepanjang masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla, koalisi tambun itu akan sulit didisiplinkan. Resistensi dan perlawanan dari lembaga legislatif akan datang dari partai-partai penyokong pemerintahan. Alih-alih koalisi semacam ini, Yudhoyono lebih butuh koalisi berkekuatan cukup (koalisi lima partai dalam pemilu presiden yang baru lalu) yang disiplin.

Tiga potensi kekeliruan berikutnya dibentuk oleh cenderung lemahnya kepemimpinan Yudhoyono. Pertama, menjalankan politik balas budi secara berlebihan sebagaimana terlihat sejak 2004. Politik balas budi berlebihan telah terbukti meningkatkan kerepotan selama lima tahun terakhir.
Kedua, tak bersikap tegas terhadap kasus-kasus konflik kepentingan dalam pemerintahannya sehingga membatasi efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Contoh terbaik soal ini adalah berlarut-larutnya penyelesaian lumpur di Sidoarjo.
Ketiga, mengelola pemerintahan yang terlampau hati-hati, lamban, dan konservatif.

Jangan lupa, SBY-Boediono cenderung satu karakter, tidak saling komplementer sebagaimana SBY-Kalla. Keduanya berpotensi menjadi rem (bukan rem dan gas) dan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan yang kurang sigap.
Tiga potensi kekeliruan terakhir dihasilkan oleh keterbatasan kemampuan Yudhoyono berhadapan dengan tarikan-tarikan politik di sekitarnya. Pertama, terjerat oleh target pemeliharaan dan pembesaran postur politik Partai Demokrat dalam Pemilu 2014.
Berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009, dalam Pemilu 2014 Partai Demokrat tak lagi bisa mengandalkan Yudhoyono sebagai kandidat presiden sekaligus ikon dan produk utama pemasaran politik mereka. Jelas ini ujian besar mengingat besarnya ketergantungan partai ini pada figurnya.

Secara teoretis, Yudhoyono berpotensi menjalani termin kedua kekuasaan dengan leluasa tanpa gangguan target 2014. Namun, dalam praktiknya, ia bisa terjerat kecemasannya sendiri akan beratnya tantangan kontestasi 2014 bagi Partai Demokrat. Beban ini berpotensi menjebak dan membatasi ruang manuver Yudhoyono.
Kedua, memelihara sensitivitas dan percaya diri berlebihan. Penguasa mana pun butuh sensitivitas dan percaya diri, tetapi yang proporsional, bukan yang berlebihan. Lonjakan dramatis dukungan bagi Partai Demokrat dan kemenangan besar Yudhoyono dalam pemilu presiden berpotensi membentuk surplus sensitivitas dan percaya diri.
Satu bukti sudah terhidang: pidato Yudhoyono yang kurang patut segera setelah meledaknya bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton tengah Juli lalu.

Lantaran surplus itu, alih-alih memberi empati yang layak bagi korban dan mengakui kelemahan intelijen dalam mengantisipasi dan mencegah serangan teroris, Yudhoyono banyak menghabiskan isi pidatonya untuk meminta empati dan simpati publik bagi dirinya serta (secara implisit) memberikan apresiasi kepada aparat intelijennya.
Ketiga, lalai mengantisipasi ancaman politik serius di pengujung pemerintahannya kelak. Karena wakil presiden tak berpartai, dalam lima tahun ke depan Yudhoyono tak memiliki “partai kedua” (setelah Demokrat) yang loyal-penuh pada pemerintahannya.
Selama 2008-2009, di tengah meningkatnya serangan partai-partai (termasuk partai penyokong pemerintah) terhadap kebijakan pemerintah, Yudhoyono masih punya Partai Golkar yang menjaga pemerintahan sampai akhir. Sebab, Golkar tak mau mengorbankan Kalla, sang ketua umum mereka. Nanti, 2013-2014, karena Boediono tak berpartai, Yudhoyono tak lagi memiliki kemewahan serupa. Jadilah ini sebagai periode paling krusial dalam termin kedua Yudhoyono. Lalai mengantisipasinya adalah sebuah kekeliruan serius.

Akhirulkalam, saya tak memendam niat busuk di balik kolom ini. Saya sekadar menjalankan fungsi konstitusional sebagai warga negara, sambil berharap Yudhoyono mampu berkelit menghindari sembilan jebakan di atas. Selamat bekerja! (irib.ir, 18/8/2009)

Oleh
Wahyu Ihsan
Ketua Bidang Prndidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
PP IMAPA Jakarta

Read More......

Rabu, 19 Agustus 2009

Kembalinya Tommy Soeharto

Nama Soeharto kembali menjadi pergunjingan, ketika Tommy Soeharto, putranya yang paling kontroversial, menyatakan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014. Kali ini, Tommy tidak menggunakan juru bicara, melainkan menyampaikan secara langsung. Sudah beberapa kali kabar itu ditulis oleh media massa, namun jarang yang disampaikan dalam kalimat langsung atau kutipan.


Saya sendiri mendengar kabar itu dari seorang kawan pada minggu lalu. Sebagai politisi Golkar yang baru setahun bergabung – serta lebih banyak mengurus pencalegan dan pilpres, ketimbang mengikuti ritme politik harian Partai Golkar --, saya menanggapi itu secara biasa saja. Yang terpenting adalah lanskap politik sudah sangat banyak berubah. Kejahatan Tommy juga sudah dihukum di Nusa Kambangan. Soeharto juga sudah meninggal dunia. Kalau ada orang yang pantas ditakuti saat ini, tentu bukan Soeharto, melainkan orang yang menggenggam kekuasaan terlalu besar.

Dari sisi bisnis, saya juga tidak tahu berapa aset yang dimiliki oleh Tommy. Apakah aset-aset itu bermasalah, tentu itu merupakan hak dari lembaga-lembaga yang dibentuk pasca-Orde Baru, yakni para pemburu aset yang dinilai merupakan bagian dari kekayaan negara. Apakah Tommy memilikinya, saya tidak tahu. Yang jelas, sebagai partai politik yang ditinggalkan oleh banyak tokoh-tokoh penting selama Orde Baru – lalu sebagian melompat ke partai lain, termasuk ke Partai Demokrat --, Partai Golkar kini menjadi sorotan. Ahmad Mubarak dari Partai Demokrat sendiri memprediksikan kalau partai ini hanya akan mendapatkan suara sebesar 2,5% dalam pemilu 9 April lalu. Kenyataannya, Partai Golkar memiliki kursi terbesar kedua di DPR RI.

Kalau anda mengatakan bahwa Orde Baru adalah sebuah sistem yang sempurna, maka Golkar bukanlah satu-satunya pihak yang selalu melindunginya. Kalau dibariskan dan dideretkan nama-nama orangnya, termasuk para ekonomnya, sebagian malah tetap mendapatkan tempat terhormat dalam rezim manapun. Begitupun, sebut saja nama seorang jenderal purnawirawan yang kini menduduki posisi manapun, entah di pemerintahan, bisnis atau politik, pastilah orang itu adalah bagian dari Orde Baru. Begitupula politisinya yang bukan generasi baru yang benar-benar hanya sekolah pada waktu Orde Baru, bisa dikatakan mereka bagian dari rezim itu.

Sepuluh tahun adalah waktu yang tepat untuk melihat lagi bagaimana kita menyebut sebuah nama, yakni nama Soeharto, serta kaitannya dengan nama anak-anaknya. Apa yang tetap, apa yang berubah. Siapa yang bersalah, lalu bagaimana kesalahan itu diperbaiki. Ketika Indonesia melepaskan diri dari Belanda, bukankah birokrasi yang dibentuk oleh Belanda itu juga yang mengendalikan Indonesia kemudian? Begitu juga dengan para tentaranya, bahkan juga pengusahanya. Jepang adalah pihak yang menyadari itu dengan membuat BPUPKI dan PPKI yang berasal dari elite-alite zamannya yang digabungkan dengan tkoh-tokoh pergerakan.

Konsolidasi merupakan hal yang paling baik, ketika sebuah rezim baru yang didambakan menjadi kenyataan. Tetapi yang terjadi adalah percerai-beraian. Ketika seseorang yang otentik dari pelaku sejarah reformasi memutuskan masuk ke dalam tubuh satu partai politik, maka yang terjadi adalah orang itu akan menemukan teman-temannya menjadi musuh-musuhnya, melebihi musuh bersama mereka. Kue kekuasaan terlalu lezat buat mereka, sehingga tujuan-tujuan awal menjadi terabaikan. Konsolidasi dari pelaku-pelaku yang otentik tidak benar-benar terjadi, mengingat para tokoh dari semua partai politik juga menjadi pelaku-pelaku otentik selama Orde Baru yang pernah dilawan.

Sehingga, pikiran realistik akan berkata: biarkan Tommy kembali ke habitat politik, yakni Partai Golkar. Tommy tidak akan lagi bisa mengandalkan siapapun, kecuali dirinya sendiri, pikiran-pikirannya, barangkali juga keuangannya. Para mantan ajudan Presiden Soeharto yang pernah menjaga Tommy waktu kecil juga sudah bertebaran di partai-partai lain. Orang-orang di Partai Golkar juga terdiri dari banyak nama yang baru sama sekali, terutama di lapisan generasi muda berusia di bawah 40 tahun. Nama-nama yang tidak dikenal oleh Tommy, tetapi tentu mengenal Tommy lewat pemberitaan media massa.

Sementara, pikiran idealistik menyatakan lain: hukuman paling pantas buat Tommy adalah hukuman sosial dan politik, yakni tidak lagi diterima di mana-mana. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan orang-orang dekat keluarga Cendana lainnya yang juga memberikan jalan bagi keluarga itu menjadi begitu kuat daya cengkeramnya ketika Soeharto berkuasa? Pikiran seperti ini hanya akan berguna kalau generasi yang memimpin hari ini benar-benar bersih seratus persen dari rezim Orde Baru. Kenyataannya tidak demikian. Presiden dan Wakil Presiden terpilih adalah dua tokoh yang berkarier cemerlang selama Orde Baru.

Jadi, biarkan Tommy Soeharto menjalani karmanya. Pengadilan juga tidak memberikan kepada Tommy hukuman untuk tidak memasuki partai politik. Tidak ada pengadilan seperti itu yang pernah digelar di Indonesia. Pengadilan HAM terberat sekalipun tidak ada yang menancapkan “orang-orang terlarang” bagi siapapun yang masuk partai politik. Orde Baru pernah melakukan kesalahan itu, ketika memberikan larangan tanpa batas tahun kepada orang-orang yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia. Karena itu adalah kesalahan, maka Indonesia tidak lagi menerapkannya, karena kalau diterapkan tidak ada perbedaan antara zaman kini dengan era Orde Baru.

Bagaimana dampak kembalinya Tommy Soeharto kepada Partai Golkar, tentulah menjadi diskusi yang berbeda sama sekali. Apakah akan terjadi pergolakan atau gejolak, bisa saja. Tidak semua orang dalam tubuh Partai Golkar menyukai kehadiran Tommy. Barangkali mereka berasal dari orang-orang yang dekat dengan keluarga Cendana selama Orde Baru. Yang jelas, jangan sampai Partai Golkar menjadi medan pertarungan kepentingan antara orang-orang yang dulu pernah begitu dekat, tetapi sekarang saling serang hanya untuk kepentingan eksistensialis diri masing-masing. Kalau ini yang terjadi, Partai Golkar tidak akan pernah menjadi partai besar, melainkan dikerdilkan oleh orang-orang yang sama.

Tommy barangkali tetap dipandang sebagai pemikul beban sejarah keluarga paling depan, dibandingkan dengan yang lain. Apakah beban Tommy akan menjadi beban Partai Golkar juga? Hampir setiap elite politik besar memiliki beban masa lalu sendiri-sendiri. Maka, dari sini, kehadiran Tommy harus dilihat dari agenda-agenda politik apa yang dia ajukan ketika kembali ke Partai Golkar, apalagi maju sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar Periode 2009-2014. Apabila kehadiran Tommy membawa agenda-agenda pribadi – dengan sendirinya --, maka masyarakat akan langsung menciumnya. Sebaliknya, ketika Tommy membawa agenda-agenda yang lebih mendasar bagi kepentingan bangsa dan negara, tentu ia berhak untuk itu. Negara ini telah memberi dua pelajaran mahal buat Tommy, yakni sebagai Pangeran Cendana dan sebagai Narapidana Nusa Kambangan. Tidak semua orang bisa mengalami dua fase yang saling dikotomis itu.

Tommy harus dilihat lebih dari dua sisi, yakni sisi baik dan sisi buruk, bahkan sisi buruk yang menyimpan kebaikan dan sisi baik yang menyimpan keburukan. Yang jelas, siapapun akan menunggu apapun yang dilakukan Tommy dalam hari-hari mendatang. Apakah ia memang si pemagang kunci Cendana? Atau ia hanyalah seorang anak bangsa yang menggunakan jalan politik agar tidak lagi menjadi bahan gunjingan laksana ada dan tiada, dianalisis seperti hantu yang gentayangan, bahkan ketika ia hanya diam tidak melakukan apa-apa. Mari kita lihat episode selanjutnya dari cerita yang mungkin akan panjang ini.

Oleh
Indra Jaya Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute

Read More......

Senin, 17 Agustus 2009

AS Tahan Shah Rukh Khan

Pemerintah India menuntut pemerintah AS untuk menjelaskan mengapa mahabintang Bollywood, Shah Rukh Khan, ditahan selama dua jam di bandara Newark, New Jersey.

Shah Rukh yang dibebaskan setelah Kedubes India di AS turun tangan mengaku marah dan dipermalukan. Aktor yang berada di AS untuk mempromosikan film bertema rasis ini mengatakan, ia ditahan karena mempunyai nama Muslim.

Ini adalah kali kedua AS memperlakukan tokoh India secara gegabah. Pada Juli, America's Continental Airlines meminta maaf kepada mantan Presiden India APJ Abdul Kalam karena menggeledahnya sebelum naik pesawat.

Dubes AS untuk India Timothy J Roemer mengatakan, Kedubes AS berupaya memastikan apa yang terjadi dalam kasus ini. "Shah Rukh Khan, aktor dan ikon global, adalah tamu yang diterima di AS. Banyak orang Amerika menyukai film-filmnya," kata Roemer, Sabtu (15/8), melalui seorang juru bicaranya.

Kabar penahanan Khan menjadi berita utama di televisi India. Khan (44) membintangi lebih 70 film dan terus menjadi bintang terkenal di India dalam beberapa tahun terakhir. Dia di AS untuk mempromosikan film barunya.

Kantor berita PTI melaporkan bahwa Khan ditahan oleh petugas imigrasi yang ingin tahu mengapa ia mengunjungi AS dan pertanyaan-pertanyaan lain setelah namanya muncul di layar komputer di tempat pemeriksaan.

Aktor itu, yang bermaksud ke Chicago untuk ikut serta dalam perayaan Hari Kemerdekaan, mengatakan peristiwa itu "sedikit memalukan" bagi dirinya. "Ini nama Muslim dan saya pikir nama tersebut biasa dalam daftar mereka," katanya kepada saluran televisi India melalui telefon. "Saya ditahan...Saya dibawa ke satu ruang tempat beberapa orang lain menunggu pemeriksaan imigrasi. Mereka kelihatan jelas orang Asia," kata Khan.

"Saya menunggu tas-tas yang saya bawa...Saya pikir enaknya mereka bawa saya ke ruang lain...Tetapi jelas bahwa para petugas melakukan pengecakan kedua," ujarnya bintang film itu dengan nada marah, seraya menambahkan"Saya punya dokumen lengkap."

Khan mengatakan ia berulang kali memberitahu para petugas bahwa dirinya seorang bintang film dan meminta mereka mengizinkannya berbicara dengan penghubungnya di AS, tapi tak diizinkan pada awalnya.

"Mereka mengatakan kontak telefon tak diperbolehkan. Tapi kemudian mereka mengizinkan sekali saja. Kemudian saya kirim pesan ke sekretaris saya, ke rumah dan ke (anggota parlemen dari Kongres Rajiv) Shukla," ujarnya.

Khan mengatakan Shukla memberitahu kantor perwakilan India yang segera menghubungi pihak terkait dan menjamin pembebasannya."Mereka (para pejabat India) sungguh sangat membantu," kata Khan.

Menurut dia, ada beberapa petugas yang mengetahui dirinya tapi mereka mengikuti peraturan. "Saya selalu khawatir jika bepergian ke Amerika. Saya malu karena hal ini. Saya tidak seperti seorang teroris yang akan melakukan sesuatu terhadap negara itu."

Khan, yang telah beberapa kali ke AS untuk pengambilan gambar film paling terakhirnya "My Name is Khan", mengatakan peristiwa tersebut bukan yang pertama menimpanya. "Ini bukan peristiwa yang pertama. Tapi saya sendirian saat ini. Ini agak memalukan," katanya.

Aktor itu, yang akan kembali ke India pada 20 Agustus, menolak menyebut insiden itu terkait dengan rasial, tetapi mengatakan hal ini terkait dengan nama Muslimnya.

"Saya selalu enggan pergi ke sini (AS). Mereka selalu berbuat begitu dan ini jadi perjalanan ganjil...Saya merasa terganggu. Mereka terus ajukan pertanyaan tak relevan dan tak penting seperti nomor telefon dan nomor hotel," katanya.

Insiden itu terjadi dua bulan setelah superstar Malayalam Mammottyy ditahan di bandara JFK karena memiliki nama Ismail.

Aktor yang merupakan cucu penyanyi legendaris Mukesh, Neil Nitin Mukesh telah menuding bahwa ia ditahan di satu bandara Amerika karena petugas mengatakan wajahnya tak seperti orang India.

Dari New Delhi diberitakan Pemerintah India beraksi keras atas penahanan Sakhrukh Khan dan menyatakan banyak insiden serupa terjadi di negara itu dan menyarankan aksi balasan.

"Saya berpendapat bahwa kita sebaiknya juga melakukan hal sama jika kita digeledah," kata Menteri Informasi dan Penyiaran Amibika Soni.

Ia mengatakan banyak contoh seperti ini berasal dari AS tempat penggeledahan dilakukan dan "melampaui batas kewajaran"

Read More......

Rakyat Aceh Makan Uang Riba

Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih tertarik menempatkan uangnya di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) daripada mengalirkan untuk sektor yang produktif. Bunga hasil penempatan deposito di SBI kemudian dialirkan lagi ke daerah. Fenomena ini dinilai akan menghambat pembangunan di daerah, termasuk di Aceh.

Tidak mengherankan jika Kepala BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI Anwar Nasution mengatakan bahwa rakyat di Aceh selama ini memakan uang riba. “Aceh mendapatkan uang yang sangat besar, jauh lebih besar dari apa yang pernah dituntut pemberontakan di masa lalu seperti DI/TII, Permesta. Cuma, ternyata uang ini tidak dipakai dengan baik untuk meningkatkan kemakmuran di daerah. Uangnya justru dibungakan di SBI. Jangan ngomong doang Aceh ini Syariat Islam, ternyata makan riba,” katanya kepada sejumlah wartawan usai konferensi pers di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Minggu (16/8).

Anwar Nasution hadir dalam konferensi pers bersama dengan lembaga pengaudit dari 8 negara, yaitu dari Australia, Belanda, Jepang, Korea, Prancis, Swedia, dan Uni Eropa, serta dari Arab Saudi yang diwakili oleh the Saudi Fund for Development. Selama berada di Aceh, lembaga ini memberikan pengalaman bagaimana mengaudit dana tsunami dan cara-cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana bantuan bencana.

Para bupati/walikota se-Aceh atau utusannya, Gubernur Irwandi Yusuf, dan pejabat Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA) dan mantan pejabat BRR tampak hadir mengikuti pertemuan yang sudah berlangsung sejak Sabtu lalu. Dijelaskan Anwar, provinsi yang paling kaya setelah Papua adalah Aceh. Namun, Aceh punya keunggulan lain yang tidak dimiliki Papua, yakni Sumber Daya Manusia (SDM). Begitupun, tidak semua kabupaten/kota di Aceh menggunakan SDM yang berkualitas. Sejalan dengan Otonomi Daerah, para bupati atau walikota cenderung menggunakan orang yang sedaerah dengannya. Inilah salah satu penyebab banyak daerah di Indonesia yang hasil audit BPK-nya tergolong Disclaimer. “Dengan adanya otonomi, pemerintah kabupaten/kota cenderung menggunakan orang daerah sendiri meski tidak berkualitas. Masalahnya, orang kampung sendiri itu bodoh-bodoh,” katanya. Begitupun, Anwar mengaku bangga dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diraih tiga kabupaten/kota di Aceh, yakni Banda Aceh, Aceh Tengah, dan Lhokseumawe.

Kunjungi lokasi
Rangkaian acara BPK’s Advisory Board on Tsunami-Related Audit di Aceh dimulai sejak Sabtu (15/8) lalu. Para delegasi dari berbagai negara itu juga berkunjung langsung untuk melihat kemajuan rekonstruksi Aceh dan pengunaan dana dari masyarakat Internasional. Mereka, antara lain, berkunjung ke Museum Tsunami Aceh, Pelabuhan Ulee Lheue, dan Pasar Aceh. Sedangkan pada Minggu kemarin, mereka berdiskusi dan mendengar pemaparan pemerintah daerah dan BRR tentang akuntabilitas pengelolaan dan bantuan tsunami.

Delegasi Lembaga Pengaudit itu bersama BPK RI juga memaparkan pengalamannya bagaimana mengaudit dana-dana tsunami dari masyarakat Internasional. Mengingat pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh sudah selesai secara formal, direncanakan badan ini akan dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini di Jakarta.

Read More......

Selasa, 11 Agustus 2009

ADA APA DENGAN ISLAM (AADI)?

Dalam sebuah pertemuan diskusi khusus dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta yang dilaksanakan pada awal Maret 2008, bertempat di Meeting Room FUF dengan tema Agama-agama Dunia, yang kebetulan penulis di minta untuk ikut menghadiri acara tersebut.

Forum diskusi tersebut menghadirkan Prof. Dr. Romo Franz Magnes Suseno sebagai pembicara tunggal. Diskusi khusus dosen ini memang rutin dilaksanakan setiap bulannya di FUF dengan pembicara yang berbeda-beda, tujuannya agar para dosen tetap memiliki semangat budaya diskusi seperti mahasiswa. Namun, tidak semua mahasiswa boleh hadir didalamnya.
Diskusi ini berlangsung cukup seru dan benar-benar menambah khazanah keilmuan penulis khususnya. Betapa tidak, diskusi ini hampir dihadiri oleh semua guru besar FUF yang notabene bergelar Doktor. Sepanjang perjalanan diskusi yang berlangsung tiga jam lebih, ada satu pertanyaan menarik dari salah seorang dosen Filsafat Islam kepada Prof Franz Magnes Suseno. Perlu diketahui sebelumnya, Franz Magnes Suseno merupakan tokoh etika Indonesia peraih nobel etika nasional yang diberikan oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla tahun 2008, namun ditolak olehnya. “Begini Prof, tadi anda katakan bahwa anda memilih Kristen sebagai agama anda, tidak lain karena anda kagum dengan kelembutan dan rasa kasih sayang yang dimiliki oleh Jesus, bahkan dalam Bible dikatakan jika pipi kirimu ditampar maka berikan pipi kanan mu, “akhirnya bonyok” (disambut gelak tawa para peserta). Namun, mengapa kelembutan dan rasa kasih sayang itu tidak dimiliki oleh mayoritas umatnya. Anda bisa lihat contoh kasus pada abad pertengahan, yaitu zaman hegemoni gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya. Di abad 20 ini pun tidak kalah jahatnya, Bush seorang Katolik memiliki hobi perang, sehingga telah membunuh puluhan juta umat manusia terutama di negeri Muslim. Tidak hanya itu prof, anda tahu kasus pelecehan terhadap umat Islam dari pelemparan kitap suci al-Quran ke kloset di Guantanamo hingga penghinaan terhadap Nabi Muhammad saw dalam bentuk karikatur yang diterbitkan berulang-ulang di koran Jyllands-Posten Denmark (tahun 2005 pernah diterbitkan, kemudian 13 Desember 2006 dimuat kembali di 11 media massa terkemuka di Denmark dan televisi nasional termasuk Koran Jyllands-Posten-Pen). Padahal Yesus tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Mengapa umatnya seperti itu. Saya sebagai Muslim sangat tersinggung dengan tindakan ini”.
Dengan enteng Suseno menjawab “itulah orang muslim, cepat sekali protes, kami di Eropa, Tuhan saja sering sekali dijadikan guyonan dan lelucon...”. serta merta penulis tersentak, dan pada waktu yang sama jawaban tersebut disambut tawa oleh para dosen-dosen FUF yang hadir (aneh dihina koq malah tertawa). Seorang tokoh etika yang tahu betul tentang moral, memahami sekali perasaan orang lain, apalagi yang dibicarakan adalah nabi dari salah satu agama besar di dunia, namun sama sekali seperti tidak memiliki etika.
“Aneh tapi nyata”, slogan yang cukup pantas disematkan didada sebahagian para pemimpin kaum muslimin saat ini, betapa tidak mayoritas penguasa di dunia Islam hanya diam ketika agama dan nabi mereka dilecehkan. Pemerintah Indonesia pun tidak menganggap hal ini sebagai perkara penting. Buktinya tindakan paling ringan sekali pun tidak mereka lakukan. Mereka tidak melakukan protes atau memanggil duta besar Denmark dan negara lain yang terlibat penghinaan atas Islam. Bandingkan, jika kepala negara dihina segera pelakunya diprotes dan diadili. Padahal lebih mulia mana Nabi Muhammad saw dibanding mereka? Namun, mengapa ketika Rasulullah dihina mereka diam saja? Dimana letak kecintaan dan penghormatan mereka kepada Islam dan nabi Muhammad saw? Bahkan film Fitna yang sangat melecehkan al-Quran dan Rasulullah saw diputarkan dan disebarkan di situs internet. Geert Wilder sang sutradara dibalik film ini mengatakan “al-Quran adalah buku fasistis yang menyebarkan kebencian dan kekerasan, setiap muslim yang tinggal di Belanda harus menyobek setengah al-Quran. Jika Muhammad tinggal disini (Belanda) sekarang, aku akan menyuruhnya keluar dari Belanda dengan belenggu”.
Lebih jauh dari itu, beberapa tahun belakangan ini kita sering mendengar kata “Pluralisme Agama” yang digaungkan oleh tokoh-tokoh intelektual Muslim dan Orientalis. Bahkan buku-buku yang mempropagandakannyapun telah bertebaran di hampir seluruh toko buku di sekitar kampus Islam di Indonesia. Pluralisme agama berasal dari kata Plural yang berarti Majemuk atau banyak. Banyak agama disini bermakna sama, semua agama yang ada dimuka bumi ini sama dan kita musti mengakui keabsahan agama lain itu.
Salah seorang dosen Filsafat agama FUF, ketika penulis sedang mengikuti kuliahnya beliau mencontohkan “agama-agama yang ada didunia ini ibarat para pendaki gunung yang mendaki dari berbagai sisi pada sebuah gunung, namun mereka akan mencapai pada puncak yang sama. Demikian pula dengan agama, setiap orang boleh meyakini agama mana yang disukai, karena Tuhan yang kita yakini itu satu dan sama dengan Tuhan yang diyakini oleh agama lain, dan kita tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk agama yang kita peluk.” Salah seorang teman penulis dikelas juga mengatakan bahwa kita harus legowo untuk menerima dan mengakui agama yang lain, karena semua agama itu benar, dan diciptakan Tuhan yang satu yaitu Allah swt.
Memang benar semua agama yang ada adalah ciptaan Allah, tapi tidak semuanya diridhoi secara syara’. Sebagaimana dikatakan oleh Dr. Anis Malik Toha bahwa Tidak semua yang Allah kehendaki (iradah) dikehendaki secara ontologis (kaunan) dan diridhoi (syar’an). Ada yang Allah kehendaki secara ontologis tapi tidak secara syara’, seperti diciptakannya setan. Ada juga yang dikehendaki secara ontologis, tapi dikehendaki juga secara syara’, seperti diciptakannya Muhammad saw. Contoh lain, Allah swt dalam Al-Quran berfirman: In Tasykurû yardhâhu lakum wa la yardhâ li’ibâdih al-kufr. Syukur dikehendaki dan diridhoi oleh Allah, tapi kufur dicipta tapi tidak diridhoi. Begitu juga tatanan-tatanan keagamaan ada yang dikehendaki dan diridhoi dan ada pula yang dikehendaki tapi tidak diridhoi.
Selanjutnya, jika kita harus legowo dan menerima bahwa semua agama sama dan tidak ada “truth claim” atau klaim kebenaran pada agama. Maka apa fungsi Islam sebagai agama dakwah yang harus menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, bukankah didalam al-quran cukup jelas difirmankan oleh Allah swt “Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah ialah Islam” dan di ayat yang lain dikatakan, “kamu sekalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan, untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”.
Didalam surat al-Kafirun ayat 5 dan 6: “walâ antum ‘abidûna mâ a’bud # Lakum dînukum waliya dîn”. Dan tidaklah kamu menyembah apa yang kami sembah # bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dalam tafsir “al-Bayan” Teuku Hasbi As-Shiddieqi mengatakan bahwa ayat ini menjelaskan kami tidak menyembah pujaanmu di waktu sekarang ini apa yang sedang kamu sembah dan kami tidak akan menyembah dimasa yang akan datang apa yang telah kamu sembah. Ayat ini cukup jelas menyatakan perbedaan antara Islam dengan selain Islam. Tuhan yang disembah umat Islam berbeda dengan Tuhan Yang disembah Non-Islam.
Kesimpulan
Penghinaan dan pelecehan Islam yang terjadi berulang-ulang hanyalah menunjukkan kebencian mereka kepada Islam. Itu lahiriahnya. Apa yang ada di dalam hatinya sungguh lebih besar dari pada itu. Allah swt. berfirman: telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi )Qs. Ali ‘Imran: 118)
Imam Ibn Katsir, ketika menafsirkan ayat tersebut, menyatakan bahwa kebencian telah tampak dari wajah, sikap mereka serta ucapan mereka. Karenanya, jangan heran bila kebencian mereka berulang-ulang dan tidak berhenti hingga ada yang men hentikannya. Realitas menunjukkan negara-negara yang ada tidak dapat menghentikan.
Hal ini membuktikan setelah lebih dari 80 tahun runtuhnya Daulah Islamiah tempat berlindungnya umat Islam selama kurun waktu 14 Abad, dan kini telah tepecah kepada lebih dari 50 negara, maka kasus-kasus ini mengisyaratkan umat Islam diseluruh dunia untuk kembali bersatu dalam satu kepemimpinan kepala negara Islam. Dengan persatuan umat, Islam akan menjadi kuat sehingga mampu menegakkan ‘izz al-Islam wa al-Muslimin, termasuk melindungi kehormatan Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad saw yang mulia.

ditulis oleh Wahyu Ihsan
(Ketua Bidang PPIP PP IMAPA Jakarta)

Read More......

Senin, 10 Agustus 2009

Bank Dunia : Kemiskinan Aceh di Atas Nasional

Total penerimaan Aceh terus meningkat pesat pada tahun 2008 akan tetapi sumber daya yang meningkat tidak dibelanjakan dengan baik. Peningkatan alokasi anggaran berbagai sektor belum menunjukkan hubungan yang positif terhadap hasil (outcome) yang bisa dinikmati masyarakat.

Riset Analis Bank Dunia, Ahya Ihsan, menyampaikan hal tersebut dalam acara Tim Koordinasi Tambahan Dana Bagi Hasil (TDBH) Migas & Dana Otonomi Khusus (Otsus), Senin (10/8) di Aula Serbaguna Setdaprov Aceh. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan kabupaten/kota dan instansi terkait seluruh Aceh.

Ahya Ihsan mengungkapkan total penerimaan daerah di Aceh mencapai lebih dari Rp.15 triliun pada 2008 dan akan tetap tinggi dengan adanya dana Otsus. “Walaupun penerimaan dari TDBH menurun dengan tajam,”katanya.

Belanja administrasi pemerintahan masih menjadi prioritas dan total alokasi untuk pendidikan menurun. “Infrastruktur dan kesehatan sedikit naik,”tambahnya. Besarnya anggaran menyebabkan alokasi belanja sektor per kapita juga meningkat.

Tingkat kemiskinan Aceh telah menurun tetapi masih jauh di atas rata-rata nasional. “Tingkat kemiskinan nasional berkisar 14% tetapi Aceh masih 22%,”ungkapnya. Provinsi dengan tingkat kemiskinan paling besar disandang oleh Papua dengan tingkat kemiskinan 37%, imbuhnya sambil memperlihatkan data-data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik.

Alokasi per kapita yang tinggi, ternyata tidak menunjukan hubungan positif dengan hasil (outcome) kegiatan yang berkaitan dengan anggaran tersebut. Ahya Ihsan memberikan contoh perbandingan belanja kesehatan per kapita dibandingkan dengan tingkat kematian bayi di Aceh. “Pengeluaran per kapita kesehatan 2006 mencapai Rp 250 ribu, kematian bayi pada tahun 2007 mencapai 7 per seribu kelahiran,”jelasnya.

Ahya menampilkan sektor pendidikan sebagai contoh lain. Belanja per kapita pendidikan tahun 2006 di atas Rp.800 ribu, sedangkan tingkat kelulusan SMA tahun 2007 masih dibawah 70%, ujarnya.

Melihat kenyataan yang ada sekarang ini Ahya Ihsan memberikan saran agar disiplin anggaran dapat ditingkatkan dan pengawasan anggaran untuk sektor-sektor kunci yang memberikan dampak besar pada masyarakat.

Read More......

Jumat, 07 Agustus 2009

Ideologi Pasar dalam Pendidikan Aceh

Banyak jalan menuju Roma. Peribahasa ini mungkin diterjemahkan oleh Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh ke dalam sistem penerimaan calaon mahasiswa (Cama). Setelah UMB PTN, lalu SNMPTN, kini UMMPTN atau JMU (Jalur Masuk Mandiri). Nanti entah apa lagi! Bagi sebagian orang, mungkin ini angin surga yang berhembus dari kawasan Darussalam, Unsyiah berbaik hati dan amat konsen dalam misi pencerdasan masyarakat dengan memberikan kesempatan yang semakin banyak untuk menimba ilmu di Universitas tersebut.

Ah, yang benar? Ya, semakin banyak jalur masuk berarti kan kesempatan untuk lulus semakin besar. Lantas, semakin banyak pula calon mahasiswa yang diterima. Jika tidak lulus di jalur pertama, coba masuk melalui jalur ke dua. Jika tidak lulus juga, masih ada jalur selanjutnya. Nah! Jika tidak lulus juga, bagaimana? Apa mungkin? Bagi orang cerdik, tentu saja logikanya tidak sesederhana demikian.

Penambahan jalur masuk tidaklah serta merta memperluas kesempatan dan memperbesar daya tampung. Jika Anda memang lulus di jalur pertama, Anda tidak memerlukan jalur kedua dan ketiga. Begitu juga jika Anda lulus di jalur kedua, Anda tidak memerlukan dua jalur lainnya. Demikian seterusnya. Jalur-jalur masuk tersebut tidak memperbesar kesempatan Anda untuk lulus. Kesemua jalur tersebut juga tidak berarti Unsyiah semakin memperbesar daya tampungnya. Kesempatan dan peluang tetap sama, karena bagaimanapun Unsyiah memiliki daya tampung maksimal. Jadi, seberapa banyak pun jalur masuk yang dibuka, tetap saja total jumlah mahasiswa yang dapat diterima sama (sesuai daya tampung). Lalu, kenapa pula harus dibuat berjalur-jalur begitu? Bukankah penerimaan mahasiswa baru sebenarnya dapat dilakukan sekali saja (satu jalur)? Simpel, efisien, lebih pasti, fair dan adil, hemat uang beli formulir, BBM, dan sebagainya. Ini dia persoalan yang perlu dicermati?

Penciptaan jalur-jalur tersebut adalah bagian dari agenda pendidikan institusional Unsyiah untuk mempertahankan status quo-nya sebagai Universitas terbesar di Aceh dengan segenap keistimewaannya. Unsyiah sangat mafhum bahwa jumlah lulusan sekolah menengah atas setiap tahun bertambah dan minat untuk mengikuti pendidikan tinggi juga terus meningkat meningkat. Hampir setiap tahun jumlah calon mahasiswa baru semakin besar sementara daya tampung universitas dan perguruan tinggi yang ada terbatas. Ini artinya ada kesenjangan yang tinggi antara permintaan/kebutuhan dengan ketersediaan (demand and supply gap). Nah, lahirlah hukum pasar, dan Unsyiah dalam bidang ini tergolong ahlinya. Pasar (semi pasar) penerimaan mahasiswa baru ini amat potensial sehingga harus dikelola dengan baik demi kepentingan bisnis yang menyatu dengan lembaga (citra, dominasi, kekuatan, pengaruh, dan tentu saja profit), dan kepentingan kelas sosial tertentu, bukan kepentingan pendidikan, calon mahasiswa, dan publik secara luas—untuk siapa dan kepada siapa lembaga itu seharusnya memberikan pelayanan dan bertanggungjawab.

Ketika ideologi ekonomi menguasai pendidikan, maka prinsip-prinsip pasar dan kriteria komersil akan bergerak menginvasi kampus universitas dan perguruan tinggi. Lalu, kebijakan dan praktik pendidikan pun—sebagaimana terjadi dalam kehidupan pasar, mengedepankan kompetisi dan seleksi. Pendidikan sebagai hak sosial fundamental secara ontologis epistemologis dimodifikasi menjadi komoditas barang yang diperjualbelikan. Pemerintah merasa bahwa kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negara bisa ditunda-tunda, bahkan kalau bisa diabaikan. Karena pendidikan membutuhkan biaya besar sehingga akan menguras banyak anggaran, pemerintah mendorong terjadinya mekanisme pasar (semi pasar) dalam pendidikan. Efeknya (salah satu), pendidikan menjadi barang mahal yang diperebutkan. Lembaga pendidikan menjadi agen penguasa untuk menentukan siapa yang berhak sekolah/kuliah dan siapa yang tidak melalui proses seleksi (beragam tes, persyaratan, dan prosedur). Melalui proses seleksi, lembaga-lembaga pendidikan juga menjadi sosok yang “sok tahu” fakultas, jurusan, prodi, dan program apa yang boleh diambil oleh seseorang atau tidak. Berbagai institusi pendidikan (publik dan privat) secara bertahap dan dalam tingkat berbeda bertindak sebagai penyedia produk barang dan jasa pendidikan sehingga merasa berhak menentukan label harga setiap produk yang ditawarkannya. Yang lebih fatal adalah ketika watak kompetisi dan seleksi sebagai ciri utama ideologi pendidikan korporatif ini secara gradual mengubah wajah institusi dan praktik pendidikan menjadi pelayan kelas pengauasa dan orang kaya, media penegas kelas-kelas sosial, melanggengkan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik, dengan mengabaikan misi sosial pendidikan dan pemenuhan kepentingan publik.

Penguasaan ideologi pasar terhadap prinsip demokrasi dan misi sosial pendidikan mendorong lahirnya banyak kebijakan dan praktik pendidikan yang semata-mata tunduk pada motif-motif ekonomi dan profit. Pendidikan mengalami deformasi dari makna dan misi sucinya menjadi alat ideologi ekonomi yang sepenuhnya bekerja untuk tujuan-tujuan pragmatis. Sistem penerimaan Cama oleh Unsyiah adalah salah satu bentuk komersialisasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik yang dibungkus dalam ritual tes dan didandani dengan istilah-istilah jalur. Jika dibongkar, jalur-jalur masuk tersebut sebenarnya bekerja secara intensif untuk memaksimalkan laba dan melipatgandakan keuntungan. Semakin banyak jalur, semakin banyak pula keuntungan yang diperoleh dari penjualan formulir pendaftaran.

Saya tidak mengerti, kenapa lembaga pendidikan kebanggaan rakyat Aceh ini tega menarik dana publik (uang formulir) sedemikian besar—padahal lembaga ini mendapat kucuran dana yang tidak sedikit baik dari APBN maupun APBA dan hampir seluruh pegawainya juga digaji dari uang rakyat—untuk kemudian memaksa anak-anak Aceh mengundi nasib dalam beragam tes yang mereka buat-buat. 150.000—300.000 bukanlah uang yang tidak sedikit bagi Apa Maun yang kerjanya cuma keumawe ungkot bace di pedalaman Nagan Raya sana. Selain itu, yang membuat kita bertanya-tanya, ada yang sudah tak lulus tes, tapi kok bisa lulus pada tes yang lain. Belum lagi yang tidak lulus tes beberapa kali, tapi karena ia anak orang kaya, punya banyak uang, ikut tes lagi, lulus juga ujungnya. Aneh!

Kentalnya ideologi pasar dan orientasi profit dalam sistem penerimaan Cama Unsyiah telah berimplikasi pada proses dehumanisasi pendidikan, komodifikasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik, lunturnya budaya demokrasi sosial dan akuntabilitas publik, menguatnya kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik, serta mendorong desintegrasi dan konflik sosial antar kelas sosial.

Pertama, dehumanisasi pendidikan. Jalur-jalur tes masuk memperlakukan calon layaknya konsumer dalam perspektif ekonomi semata, bukan dari potensi kemanusiaanya. Tes membatasi pilihan dan minat individu untuk belajar pengetahuan. Tes membunuh kebebasan seseorang untuk menentukan bidang dan orientasi akademiknya. Dalam batas yang lebih krusial, jalur-jalur tersebut bertindak tidak saja menentukan pilihan prodi, jurusan, dan fakultas apa yang boleh diambil oleh calon, melainkan justru memvonis apakah seseorang boleh dan layak menempuh pendidikan tinggi atau tidak.

Kedua, komodifikasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik. Model seleksi dan jalur-jalur masuk Cama menunjukkan telah terjadi komodifikasi pendidikan. Pendidikan melalui kebijakan dan praktik penerimaan Cama secara berjalur, diperlakukan layaknya barang dan jasa dalam perspektif ekonomi. Sejak proses penerimaan, para calon telah diperlakukan sebagai kostumer, menerima jasa pendidikan sesuai bayaran yang mereka berikan. Hubungan berpola kostumer—suplier dalam proses pendidikan berlanjut dalam penentuan fakultas dan subjek ilmu yang diambil. Selanjutnya subjek-subjek ilmu pengetahuan diberikan label harga, kedokteran 90 juta, teknik 15 juta, ekonomi 5 juta, keguruan dan hukum 2 juta, begitu seterusnya. Ideologi pasar telah merusak nilai-nilai ilmu pengetahuan dan kemurnian pendidikan. Seolah-olah kedokteran itu lebih hebat dan lebih tinggi nilainya daripada hukum dan pendidikan. Seolah-olah ilmu agama itu tidak ada artinya ketika berhadapan dengan ilmu teknik. Bukankah ilmu pengetahuan itu nilainya sama bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan. Saya takut, jika pendidikan kita terus menerus mengikuti irama pasar, satu saat ilmu-ilmu sosial dan keagamaan tak laku lagi. Lalu kehidupan kita yang terbentuk oleh marketisasi dan korporatisasi pendidikan terus-menerus diperkosa oleh kekuatan-kekuatan neokolonial kapitalis.

Ketiga, lunturnya budaya demokrasi sosial dan akuntabilitas publik. Penerimaan Cama melalui tes dan seleksi berjalur-jalur menunjukkan arogansi lembaga, eksploitasi kesenjangan pendidikan yang terjadi dalam masyarakat kita demi kepentingan sepihak. Seleksi dan tes melalui banyak jalur sengaja diciptakan untuk memperkuat efek pasar dan memicu respon psikologis berupa ketakutan, ketegangan, kecemasan, dengan tetap mengikat harapan kelulusan di kalangan para calon sehingga formulir pendaftaran laris manis dalam iklim persaingan yang semakin tajam. Tidak ada sedikitpun peluang di sini bagi para calon untuk menyuarakan aspirasi dan keluhannya. Model seleksi ini adalah perintah (order) sebagaimana dalam militer yang harus diikuti tanpa harus tahu mengapa semua itu harus dilakukan dan untuk siapa? Otoritarianisme kekuasaan dan budaya predator kini menjadi karakter lembaga-lembaga pendidikan kita.

Sistem penerimaan Cama Unsyiah juga tidak menganut transparansi dan akuntabilitas publik baik dari segi penggunaan dana maupun proses penentuan kelulusan. Sama dengan pengelolaan dana-dana publik lain yang mengalir ke Unsyiah, prosesi penerimaan Cama sangat tertutup, tidak ada akses publik untuk mengetahui kenapa dan bagaimana kebijakan ini dikelola dan dilaksanakan. Para calon hanya pasrah, publik pun bersikap pasif dan tak mau tahu. Praktik pendidikan dan kebijakan akademik yang dijalankan institusi pendidikan kita terutama pendidikan tinggi memang seolah lepas dari kontrol publik. Universitas, perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah seolah ingin menjauhkan diri dari akar sosialnya. Semuanya berubah menjadi sangat birokratis dan merasa tidak perlu bertanggungjawab kepada masyarakat. Padahal, bukankah lembaga-lembaga ini didirikan untuk kepentingan publik dan menghidupi dirinya dengan dana publik pula.

Keempat, menguatnya kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik. Pendidikan seharusnya menjadi media harmonisasi sosial dan pengembangan kehidupan yang adil sejahtera secara kolektif. Akan tetapi, model penerimana Cama secara berjalur telah mengkotak-kotakkan para calon menurut kemampuan itelektual (berbasis tes), keberuntungan, dan kemampuan ekonominya. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial. Praktik ini lambat tapi pasti akan memicu gap, kecemburuan, dan konflik sosial antar mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus. Kita bisa memprediksi emosi-emosi dan sikap-sikap apa kira-kira yang akan tumbuh dalam interaksi sosial antar mahasiswa yang lulus sekali tes ketika dengan yang lulus setelah beberapa kali ikut tes atau mahasiswa yang lulus karena kesanggupan membayar mahal. Begitu juga, kita dapat menerka kira-kira sikap-sikap sosial apa yang akan tumbuh dan berkembang di dalam diri mahasiswa akibat perlakuan lembaga pendidikan yang diskriminatif ini. Dampak lain adalah secara gradual institusi dan praktik pendidikan semakin dipengaruhi/dikuasai oleh kapital dan kapitalis. Orang-orang kaya dengan mudah dapat memilih bidang-bidang yang bernilai ekonomi tinggi atau mengakses pendidikan yang bermutu sementara yang miskin tidak memiliki banyak pilihan dan semakin kesulitan. Belajar dari kebijakan semester pendek, kita patut menduga bahwa tidak mustahil suatu saat orang-orang kaya dan penguasa bisa saja menyewa para profesor dan doktor untuk menguliahi anak-anak mereka dalam jangka waktu yang lebih singkat sehingga mendapatkan gelar-gelar akademik dalam tempo yang singkat pula. Jika ini terjadi, alih-alih pendidikan menjadi motor harmonisasi dan integrasi sosial, malah sebaliknya menjadi pemicu dan pendorong keberlangsungan disharmoni dan disintegrasi.

dikutip dari web resmi The Aceh Institute
http://www.acehinstitute.org

Read More......

Aceh Miliki Potensi 11,736 Juta MW Energi Batubara

Kebutuhan batubara untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya tidak akan bermasalah bila investor tambang ini segera mengantisipasi kebutuhan PLTU tersebut yang hanya butuh 1,2 juta ton per tahun.

Pakar Energi Universitas Syiah Kuala, DR. Mahidin, ST,MT menyatakan Nagan Raya memiliki cadangan 1,3 miliar ton batubara. Potensi batu bara yang terdapat di bumi Aceh sebanyak 1,6 miliar ton, terbesar adalah di Nagan Raya, kata Mahidin, kepada Harian Aceh, di Banda Aceh, kemarin.

Dia menngingatkan Aceh memiliki sumber energi yang sangat besar yaitu 11.736 Giga Watt atau setara dengan 11.736.000 MW. Nilai energi ini dengan asumsi tingkat efisiensi 50%. Jenis energi ini dapat ramah lingkungan asal memakai tekonologi yang tepat, katanya. Malah limbahnya dapat digunakan kembali untuk bahan baku semen.

Potensi batubara ini selain di Nagan Raya juga terdapat di Aceh Barat dan di Aceh Jaya. Walaupun sumber energi batu bara termasuk dalam sumber energi tak terbarukan, kata dia, untuk Aceh bahan baku yang tersedia akan bertahan untuk puluhan tahun lamanya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara diversifikasi batubara atau mengombinasikan dengan material lain seperti mencampur batubara dengan cungkil sawit.

Ketika ditanya apa yang menjadi kendala dalam pembangunan PLTU batubara, Doktor lulusan Jepang ini mengatakan bahwa faktor teknologi menjadi tantangan utama. Hal ini demi efisiensi dan keselamatan lingkungan.Dengan memakai teknologi tinggi seperti di Jepang atau negara maju lain maka energi listrik aman dan bisa menjadi murah. Walaupun nilai investasinya menjadi besar, ujar Kepala Laboratorium Sumber Daya dan Energi Jurusan Teknik Kimia Unsyiah ini.

Banyak kalangan peduli lingkungan yang mengkhawatirkan timbulnya dampak lingkungan yang buruk. Dampak lingkungan yang terjadi bisa dimulai dari proses penambangan yaitu limbah cair pencucian batu bara dari kotoran, limbah padat pemisahan batu bara dari kandungan mineral lain. Kemudian ada potensi pencemaran sewaktu proses di PTLU seperti timbulnya emisi udara hitam, munculnya abu terbang katanya.

Namun dengan menggunakan teknologi yang tepat semua efek ini dapat diminimalisir seperti yang sudah diterapkan di Jepang. Jepang sendiri memakai gas, batubara dan nuklir sebagai sumber energinya. Mereka bahkan sudah memanfaatkan abu terbang dari batubara untuk bahan baku campuran semen atau keramik. Malah batubara yang digunakan berada di bawah kualitas batubara Indonesia, ia melanjutkan.

Selain batu bara, Aceh juga memiliki sumber energi alternatif seperti memanfaatkan air atau populer disebut Hidro, yang sudah diterapkan di Gayo Lues, Aceh Tengah dan Bener Meriah. Potensi hidro sendiri mencapai 80% untuk diterapkan di Aceh, katanya kembali.

Alternatif lain bisa memakai sumber energi dari angin terutama bagi daerah yang dekat dengan pantai, gelombang atau pasang surut ataupun biomassa.

Pekan lalu, PT PLN (Persero) menandatangani kontrak EPC (Engineering Procurement Construction) atau kontrak pembangunan konstruksi PLTU di Nagan Raya, dengan kapasitas 2x100 MW. Pemenang kontrak pembangunan adalah Sinohydro Corporation, dengan nilai kontrak sebesar Rp795 miliar dan US$161 (Rp1,481 triliun).

Operasionalisasi untuk PLTU Nagan Raya, unit satu diharapkan efektif 24 bulan dari tanggal kontrak, sedangkan unit dua efektif 26 bulan setelah tanggal kontrak.

Dengan dibangunnya PLTU Nagan Raya pada akhir 2010 nanti, akan terjadi penghematan BBM sebesar 578 juta liter per tahun atau setara dengan penggunaan batu bara sekitar 1,2 juta ton per tahun. Sehingga diperoleh penghematan sekitar Rp3,6 triliun.

Masalahnya, PLN mencemaskan suplai batubara atas rencana pembangunan PLTU 10.000 MW seluruh Indonesia, termasuk 2 x 100 MW di Nagan Raya itu. Soalnya sampai sejauh ini belum ada kepastian siapa yang akan memasok batubara PLTU tersebut. Sejumlah investor memang sudah melakukan investasi batubara, akan tetapi sampai sejauh ini belum ada kepastian apakah mereka nantinya mampu memasok kebutuhan PLTU tersebut atau tidak. Sejumlah perusahaan pertambangan batubara di Aceh ditengarai sudah membangun kontrak dengan PLTU sejenis di luar negeri. Di sisi lain, PLN sendiri belum mendapatkan izin pemerintah untuk melakukan bisnis batubara

Read More......

Pasien Flu Babi Dirawat di RSUZA

Setelah kemarin Rabu (5/8) pasien berinisial J dirujuk ke RSUZA karena mengalami panas tinggi dan diduga terinfeksi virus H1N1, kini RSUZA kembali menangani dua pasien lainnya yang diduga juga terinfeksi virus yang sama.

Kedua pasien tersebut yang baru kembali dari Kuala Lumpur Malaysia pada hari rabu itu juga masing-masing berinisial SN (8) dan NJ (41).
“Pasien ini sebenarnya sudah kami terima sejak pukul 14.00 WIB Rabu kemarin. Hasil penanganan sementara memang mengalami panas tinggi, batuk dan asma. Dan belum bisa dipastikan positif atau tidak,” ungkap Kepala Humas RSUZA Husaini SKm Kamis (6/8).

Dikatakannya setelah pendaratan, Kantor kesehatan Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) mendapati penumpang pesawat Air Asia berinisial SN dan NJ yang baru lepas landas dari Kuala Lumpur Malaysia mengalami panas tinggi.
Penumpang bocah laki-laki berinisial SN itu baru kembali dari Kuala Lumpur bersama kedua orang tuanya yang berasal dari Lhokseumawe. Hingga saat ini, pihak RSUZA tidak bisa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai kemungkinan orang tua SN juga mengalami hal senada.

Sementara penumpang pria berinisial NJ asal Banda Aceh ini tidak memiliki hubungan apapun dengan SN maupun orang tuanya. Hingga saat ini, keduanya masih dirawat intensif di ruangan khusus di RSUZA.

“Sama seperti kasus sebelumnya, kami belum bisa memastikan benarkah terinfeksi H1N1 atau tidak. Jadi hasil pemeriksaan sementara akan kami kirim dulu ke Depkes RI untuk mengetahui diagnosanya,” jelas Husaini.

Read More......

Kamis, 06 Agustus 2009

Golkar Haus Uang?

Tokoh muda Partai Golkar Yuddy Chrisnandi yang mencalonkan diri sebagai ketua umum Partai Golkar menyatakan, untuk menjadi ketua umum Golkar, si kandidat tak semata-mata harus banyak uang. Ada hal lain yang juga harus dimiliki si kandidat, di antaranya idealisme kepartaian, pengalaman, jaringan, kekuatan gagasan dan visi masa datang, serta jejak rekam dan integritas seseorang.

Pendapat yang menyatakan bahwa seorang calon ketua umum Partai Golkar harus memiliki banyak uang justru merugikan Partai Golkar sendiri. Sebab, Partai Golkar akan terkesan kumpulan kader dan pengurus partai yang haus dengan materi dan uang. "Seolah-olah untuk menjadi ketua umum Partai Golkar, orang harus memiliki banyak uang. Tanpa uang, Partai Golkar mati dan tidak bisa hidup," tandas Yuddy di Jakarta, Rabu (5/8) di Jakarta.

Sehari sebelumnya di Palembang, Ketua DPP Partai Golkar Muladi menyatakan, untuk menjadi ketua umum Partai Golkar, dibutuhkan sosok yang berpengalaman dan memiliki banyak uang untuk menopang operasional Partai Golkar. (Kompas, 4/8)

Menurut Yuddy adalah benar jika sebuah organisasi partai politik membutuhkan dana untuk menunjang kegiatan dan operasionalnya sehari-hari. Akan tetapi, bukan uang satu-satunya yang menjadi ukuran bagi kelangsungan hidup partai. Partai Golkar, lebih dari 50 persen jajaran pengurus dan kadernya adalah ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD); pejabat negara, seperti gubernur, bupati, dan wali kota; serta jabatan lainnya. "Jadi, ini bisa dinilai sebagai suatu penghinaan terhadap Partai Golkar sebagai aset nasional," tambah Yuddy.

Dikatakan Yuddy, dengan gotong royong dan kebersamaan antara kader dan pengurus Partai Golkar, kebutuhan dana untuk kelangsungan organisasi partai akan terkendali. Apa yang terjadi sekarang di Partai Golkar adalah krisis figur dan reposisi Partai Golkar ke depan. "Jika Partai Golkar bisa mengembalikan posisinya dan memiliki figur yang baik, Partai Golkar akan kembali memiliki basis massa yang besar," ujar Yuddy.

Ditambahkan oleh Yuddy, dengan menyatakan syarat calon ketua umum Partai Golkar harus memiliki banyak uang dan ditambahkan bahwa orang yang tepat adalah Aburizal Bakrie, hal itu dinilai justru akan memperburuk citra dan kemandirian Partai Golkar.

Seolah-olah Partai Golkar itu hanya mengandalkan pada satu pribadi saja untuk menopang partai karena dia punya banyak uang. Padahal, partai adalah kebersamaan dan gotong royong dengan kondisi semua potensi partai harus dikerahkan untuk bersama-sama menopang kehidupan partai sehari-hari. "Bukan hanya diserahkan kepada satu orang," ungkap Yuddy lagi.

Read More......

Kemiskinan Akibat Kesesatan Pembangunan

Sedih rasanya membaca berita-berita di media cetak yang menceritakan tentang kemiskinan di Aceh. Kemiskinan seakan sudah menjadi ”virus” mematikan yang suatu waktu bisa menyerang dan menimbulkan korban siapa saja dan kapan saja, seperti virus H1N1 yang sedang hangat dibicarakan seantero dunia ini.
Aceh katanya cukup kaya. Kekayaan alamnya melimpah ruah, mutiara terbaik di negeri khatulistiwa. Namun, kini semuanya begitu mahal. Jangankan untuk kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, kita harus bekerja membanting tulang siang malam, merampok dan menculik.

Kemiskinan di Aceh saat ini masih tinggi. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS mencapai 959,7 ribu jiwa atau 23,53 persen dari jumlah penduduknya. Jika dicermati umumnya adalah kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan pembangunan dari penguasa (eksekutif maupun legislatif) yang sesat sehingga gagal mengontrol harga kebutuhan dasar rakyat yang meroket dan tidak terjangkau lagi serta berbagai penggusuran terhadap pedagang pasar/kaki lima dan pembebasan tanah tanpa atau ganti rugi yang layak diikuti pembakaran dengan dalih bagi kepentingan umum.

Lihat saja, Nurjannah, bayi perempuan berusia sembilan bulan penderita gizi buruk asal Desa Blang Dalam, Kecamatan Makmur, Bireuen terbaring tak berdaya di RSU Fauziah Bireuen beberapa waktu lalu. Kasus Nurjannah salah satu fakta diantara bayi penderita gizi buruk lainnya.Berdasarkan pengamatan fakta, gizi buruk terjadi bukan saja karena minimnya fasilitas pelayanan kesehatan atau faktor orang tua yang mempertahankan makanan etnik sebagai identitas kultur kebudayaan yang kemudian dijadikan sebagai makanan pokok sehari-hari, melainkan lebih dominan disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi keluarga.

Berikutnya, perampokan bersenjata dan penculikan yang terus terulang. Terakhir, Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Kuta Blang Bireuen dirampok empat pria bersenjata, Selasa (12/5) sekitar pukul 13.40 WIB dan Suryadi, 33 tahun, penjaga alat berat milik PT. Gasni Halim di Desa Alue Keurinyai, Kecamatan Nisam, Aceh Utara diculik sekomplotan bersenjata api, Senin (11/5) sekitar pukul 18.00 WIB. Terlepas apa motifnya, namun yang pasti BRI mengalami kerugian uang sebesar Rp58 juta dan Suryadi diminta tebusan uang sebesar Rp70 Juta. Sangkaan awal, peristiwa ini dapat dikatakan motifnya ekonomi, meskipun nanti hasil pengembangan penyidikan lain.

Dikaitkan dengan pendapat para kriminolog ternyata benar, yakni ekonomi salah satu faktor timbulnya kejahatan. Krisis keuangan global, tekanan ekonomi karena Pemutusan Hubungan kerja (PHK) dan lapangan kerja sempit, menjadikan kemiskinan begitu dekat dengan keluarga yang ekonominya tidak menentu yang akhirnya memunculkan peluang tindak kejahatan.Sesuai tujuan pembangunan, semestinya upaya yang dilakukan ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi semua bentuk dan dimensi penderitaan manusiawi, terutama bagi kaum jelata yang miskin papa dan menderita. Sehingga yang namanya kesejahteraan tercapai.

Hal ini penting karena antara pembangunan dengan kesejahteraan saling memperkuat atau sering didefinisikan sebagai hubungan mutual re-enforcing. Kemajuan pembangunan akan memperkuat kesejahteraan. kesejahteraan akan memperkuat pembangunan. Sebaliknya, kemunduran kesejahteraan akan mempersulit pemajuan pembangunan dan pada gilirannya memerosotkan kesejahteraan itu sendiri. Bagian ini luput dari perhatian. Meskipun berulang kali dikritik dan dilawan, tetap saja terjadi.

Pembangunan selama ini sangat jauh dari tujuannya. Karena dalam pelaksanaan cenderung untuk kesejahteraan pribadi penguasa, beberapa orang, golongan dan atau kelompok tertentu. Semula untuk ketertiban dan kepentingan umum, lama kelamaan tampak motif ekonominya. Keberadaan gedung-gedung mewah dan lahan untuk perusahaan lebih diutamakan ketimbang sumber perekonomian rakyat. Memberi lahan untuk perkebunan perusahaan menjadi pilihan ketimbang memberi ruang yang patut bagi petani. Ringkasnya ”kepemilikan” kini menjadi jauh lebih berwatak privat ketimbang publik.

Tanah sebagai modal mengail rezeki harus diserahkan begitu saja tanpa ganti rugi yang layak. Ada yang layak, tetapi “disunat” oleh pihak-pihak yang tamak akan kekayaan. Ketidakadilan struktural ini membuat tanah tidak terganti karena harganya tidak terjangkau dengan jumlah ganti rugi yang diterima. Itulah hal yang kemudian menghilangkan lapangan kerja sehingga sebagian rakyat Aceh tertinggal dalam menikmati kesejahteraan hidup, alias miskin. Penggusuran dan perampasan tanah sudah menjadi keterampilan penguasa dan perusahaan. Bahkan, tidak jarang keterampilan tersebut berbuah konflik berkepanjangan yang tidak kunjung selesai.

Perhatikan saja beberapa wilayah, terutama di wilayah kabupaten pemekaran. Pembebasan tanah kerap memunculkan persoalan yang bermuara pada bentuk dan atau jumlah ganti rugi. Seperti, pembangunan gedung pemerintahan di Suka Makmur, kabupaten Nagan Raya, pembangunan kompi Brimob di Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, pembangunan pelebaran bandara Kuala Batu (diikuti dengan pembakaran rumah dan warung pemilik), Kabupaten Aceh Barat Daya, pembangunan Kompi TNI, di Geumpang, Pidie dan pembangunan rumah sakit bantuan Korea di Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Selanjutnya, kasus PT Ubertraco di Kemukiman Pemuka, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil merampas lahan masyarakat di 24 Desa di 5 Kecamatan dan PT Runding Nusantara (RN) di Desa Panji, Kecamatan Longkib, Kota Subulussalam yang berujung pembakaran dan penahanan 23 masyarakat Panji. Semestinya, pembinaan kepada petani yang harus dilakukan, membentuk kelompok tani, membuka areal perkebunan dan memfasilitasi untuk mendapatkan bibit unggul atau benih berkualitas, membantu pembukaan lahan serta membantu memasarkan hasil.

Aceh tidak beda saat orde baru, era reformasi telah menampakkan wajah brutal penguasa yang sewenang-wenang melukai rakyatnya sendiri yang miskin dan menderita. Mereka hanya dijadikan ”tumbal” pembangunan dan menerima polusi yang mematikan sebagai hadiah. Itulah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim orde baru dan disempurnakan era reformasi secara sadis dan ironis.

Ironi itu semakin jelas, kasus ratusan warga di Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara II, Kota Lhokseumawe yang diduga keracunan gas yang dibawa angin dari Kilang LNG Arun, hingga hari ini belum ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa dan perusahaan masih diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bersikap tegas. Padahal, bukan sekarang saja hal serupa terjadi, masa daerah operasi militer (DOM) juga pernah terjadi beberapa kali. Sebenarnya hal-hal yang menyebabkan kemiskinan struktural dapat diantisipasi dan diselesaikan. Keahlian bukan menjadi kendala. Sebab, keahlian untuk itu dimiliki. Tetapi yang menjadi kendala, keberanian bersikap yang tidak dimiliki. Memang selama ini ada keberanian, tetapi keberaniannya terfokus kepada kebijakan pemiskinan.

Hilangnya keberanian penguasa disebabkan oleh kesalahpahaman tentang reformasi. Mereka hanya memahami reformasi secara semu ”Harmoni palsu”. Harmoni adalah massa mengambang. Akibatnya pemulihan ekonomi masih jauh dari harapan karena kedaulatan ekonomi sudah digadaikan kepada kaum kapitalis terutama di bidang pertambangan dan perkebunan. Rakyat tidak boleh kritis. Kritis identik dengan subversif! Melawan penguasa. Dosa terhadap negara. Maklum hal ini terjadi, legislatif saja diisi oleh sebagian tokoh-tokoh reformasi gadungan.

Sekarang saatnya melakukan perubahan secara total dan menyeluruh setelah puluhan tahun hidup di antara celah-celah kebijakan pemiskinan. Ekonomi kerakyatan sesegera mungkin digagas. Harapan ini begitu besar dan rakyat Aceh mempercayai Partai Aceh (PA) dan Demokrat sebagai tempat.

Di matanya, selain memiliki sejarah yang baik, tokoh-tokoh di kedua partai tersebut juga dirasa begitu dekat dengan ”keringat” rakyat. PA yang terdiri dari mantan kombatan, masa konflik sangat lantang melakukan perlawanan ketidakadilan pemerintah pusat. Sedangkan demokrat, terdiri dari orang-orang yang memiliki rasa tulus yang berwujud kasih sayang pada sesama manusia dan rakyat (help delinquent and love humanity) sehingga mampu menyelesaikan permasalahan konflik melalui perdamaian. Kemudian hal ini yang membuat mereka begitu dikenal.

Atas dasar itu, anggapan langkah tepat ”menikahkan” kedua partai tersebut berkuasa untuk memulai perubahan jangan dikhianati. Jika terjadi, maka bersiaplah untuk digugat di kemudian hari. legislatif baru harus benar-benar membuktikan kedekatannya dengan keringat rakyat. Ketika mengucur keluar, baunya itu tercium sehingga agenda pro rakyat langsung dirumuskan.

Selain itu, legislatif baru juga harus mempelajari kesalahan-kesalahan pendahulunya. Resistensi keberanian melawan ketidakadilan masa konflik jangan kendor ketika sudah berkuasa. Bukan tidak mungkin legislatif baru terjebak dengan cara-cara demikian. Sebab di sana telah lama bekerja sebuah sistem yang bisa menjerat siapa saja yang duduk di dalamnya. Bekerja bukan untuk membawa suara rakyat melainkan mengatasnamakan rakyat bagi terfasilitasi kepentingannya dan segelintir orang.

Akhirnya, kepada legislatif baru beserta eksekutif dapat melakukan beberapa hal, agar kemiskinan tidak sulit ditembus dan kesejahteraan tidak lagi menjadi barang mewah, yakni; Pertama, hubungan kekuasaan jangan menghilangkan kemampuan rakyat untuk memutuskan masalah yang menjadi perhatian mereka, akses komunikasi demi terselenggaranya musyawarah untuk mufakat dibuka seluas-luasnya dan jangan terbuai dengan study banding keluar daerah atau keluar negeri sehingga persoalan sosial tidak terselesaikan.

Kedua, memberi peluang memperoleh alat-alat produksi (lahan dan teknologi) dan sumber daya (pendidikan dan akses pasar) kepada mayoritas rakyat; Ketiga, membentuk mekanisme yang memadai untuk akumulasi pembangunan dan distribusi agar merata; Keempat, melakukan integrasi ekonomi nasional, yang berorientasi memenuhi pasar domestik daripada pasar asing; Kelima, mendorong peningkatan peran pemerintah sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial;

Keenam, membatasi eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan dan menanggulangi pencemaran ekosistem secara proporsional sehingga tidak berdampak kepada orang miskin; dan
Ketujuh, menjauhkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan polarisasi rakyat, yang memacu bertambahnya penumpukan pendapatan dan kesejahteraan bagi segelintir orang.

Hal-hal ini memang bukan mantera atau petuah yang ampuh, melainkan bagian dari tawaran strategi yang disesuaikan mengikuti kondisi Aceh saat ini. Semoga saja saya salah. Dengan demikian sejak dari sekarang saya mohon maaf dan tidak menunggu dipersalahkan baru kemudian meminta maaf. Terima kasih.

Read More......

Guruku Pahlawanku

Guruku, beberapa waktu yang lalu namamu sempat terpojok karena kekerasan spontanitas yang dilakukan beberapa kolegamu terhadap beberapa anak didiknya, tapi aku muridmu masih sangat mencintai dan menghormatimu. Pengorbanan yang telah engkau berikan tak akan pernah kulupakan hanya karena beberapa kekhilafan yang kuyakini engkau tak sengaja melakukannya. Pengorbananmu lebih besar dari kekhilafanmu, kami memaklumi semua kekhilafan itu, karena engkau hanya manusia biasa, seperti kami dan juga orang-orang yang memperbincangkan tentang dirimu. Dan aku yakin, engkau adalah pahlawan terbaik yang pernah dimiliki oleh Bangsa ini.

Guruku, jarak dan waktu yang telah lama memisahkan kita membuat hatiku kembali merasakan getaran rindu yang amat sangat mengenang sosokmu yang begitu bersahaja. Sederet bulu kudukku berdiri merinding dibarengi dengan tetesan air mata yang keluar dari pelupuk mataku di kala kugoreskan tinta ini untuk mengenang jasamu dan kerinduanku akan belaian kasih sayang dan perhatianmu seperti dulu ketika engkau menyapa kami di pagi hari, ‘anak-anak, apa kabar hari ini?’

Guruku, engkau adalah pahlawan tanpa tanda jasa, begitu banyak jasamu kepadaku, namun tak pernah ada balasan setimpal yang engkau peroleh dariku. Sungguh aku menyesali semua itu, kenapa aku tidak pernah membahagiakanmu, bahkan hanya kekesalan yang engkau peroleh ketika menyaksikan tingkah laku kami dulu ketika engkau mengajariku, begitu malasnya kami mengerjakan PR-PR yang engkau berikan dulu di sekolah, tingkah kami sering kali pula membuatmu hampir berputus asa mendidik kami menjadi orang-orang yang berguna bagi Agama, Bangsa dan Negara, tapi kami terkesima karena ternyata engkau masih tegar dan ternyata terus tegar mendidik kami dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang, meskipun imbalan yang engkau terima tak pernah cukup untuk menghidupi keluargamu.

Guruku, saat ini ketika kami mulai mengenal arti kehidupan ini kami baru menyadari siapa dirimu sebenarnya, ketika perjalanan hidup kami yang berliku-liku ini memberi kami banyak pelajaran berarti. Guruku, sungguh keputusan yang tepat ketika engkau mengambil inisiatif untuk mengemban profesimu yang sangat mulia sebagai pendidik, engkau telah menjejakkan kakimu di pelataran untuk membangun dan mencetak generasi umat ini. Guruku saudaraku, engkau tidak pernah membutuhkan kata-kata indah dan tiupan seruling selamat datang untuk menyambut kedatanganmu.

Guruku, betapa akan bahagianya diriku, dengan muka yang berseri ketika aku akan melihatmu. Wahai guruku, pribadi yang membawa jiwa yang luhur, hati yang mendidih tersayat pedih melihat realita umat, termenung sedih terhadap keadaan anak-anak muda yang engkau didik. Walau begitu, kesedihan ini tidak menjadi tembok penghalang dan jurang pemisah bagimu. Engkau tetap membawa optimisme tinggi, jiwa yang kokoh, yang selalu mengharapkan perbaikan dan perubahan. Lihatlah, aku telah melihat buah jerih payahmu. Semoga Allah memberikan berkah-Nya kepadamu dan menambah ilmu dan amalmu.

Guruku, aku sering mendengar kata-kata pujian yang terlontar dari murid-muridmu. Aku sering melihat nilai-nilai mulia darimu terpancar pada mereka. Tidakkah engkau melihat para pemuda lugu yang berlomba-lomba meraih shaf pertama di mesjid-mesjid, berlomba duduk di pengajian-pengajian dan majelis-majelis pengetahuan? Tidakkah engkau lihat orang-orang terbaik yang memimpin masyarakat ini, orang-orang shalih yang selalu menjadi teladan bagi masyarakat, menjadi orang-orang yang selalu meneriakkan ‘perubahan’ melalui lisan, tinta dan kerjanya? Wahai guruku, lihatlah anak-anak didikmu dulu, sebagian mereka telah menjadi orang-orang besar, menjadi penulis, wartawan, ulama, politisi, pengusaha, eksekutif dan lain-lain sebagainya. Seluruh yang engkau lihat- wahai guruku adalah sebagian dari hasil jerih payahmu bersama ustadz-ustads dan dai-dai yang lain.

Guruku, kuharap engkau masih mengingatku, karena aku juga selalu merindukanmu, selalu mendo’akanmu. Dan sebelum kuakhiri surat ini izinkan aku memohon do’amu agar harapanmu dulu bisa ku wujudkan, karena aku yakin tiada yang bisa lebih membahagiakan seorang guru kecuali melihat anak-anak didiknya berhasil, dan aku benar-benar ingin membahagiakanmu. Wahai guruku, tahukah dirimu, bahwa engkau adalah pahlawanku?

Read More......

Hentikan Liberalisasi Laut dan Pesisir

Lembaga adat Indonesia menuntut pemerintah untuk menghentikan privatisasi, monopoli, dan liberalisasi sumber daya kelautan dan pesisir. Selain itu, mereka juga menuntut pemerintah Indonesia memprioritaskan kepentingan lembaga hukum adat di atas kepentingan investor dan lembaga konservasi internasional, melalui Forum Komunikasi Lembaga Adat.

Dua tuntutan itu merupakan bagian dari pernyataan Lombok yang dibuat oleh 32 lembaga social masyarakat yang konsen di bidang kelautan dan perikanan sejak 2 hingga 5 Agustus lalu di Lombok Nusa Tenggara Barat. “Untuk itu kami mendorong lahirnya pengakuan konstitutif terhadap kewenangan lembaga hukum adat dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan melalui pernyataan Lombok,” ungkap Ketua Tim Perumus pernyataan Lombok Dedy Ramanta didampingi sekretarisnya M Adli Abdullah melalui siaran persnya, Kamis (6/8).

Dedy menambahkan, tuntutan penghentian privatisasi sumber daya kelautan dan pesisir bukan tak beralasan. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), khususnya aturan terkait Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3), Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 Tahun 2008 yang telah direvisi menjadi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 12 Tahun 2009 tentang Perikanan Tangkap, khususnya aturan terkait Kluster Perikanan tidak mengedepankan hak konstitusional masyarakat hukum adat yang selaras dengan prinsip-prinsip universal yang dijamin dalam UUD 1945 dan HAM.

Oleh karena itu sambung Adli, negara perlu menjamin keberadaan lembaga hukum adat melalui pengakuan politik. Bila itu bisa dilaksanakan, orientasi paradigma ekonomi tidak saja akan bertumpu pada pengejaran pertumbuhan ekonomi, namun juga mengedepankan prinsip keadilan social dan keberlanjutan lingkungan hidup. Pasalnya lembaga hukum adat memegang peranan penting dalam mengawal proses konservasi sumber daya kelautan dan perikanan untuk mencegah konflik antar komponen masyarakat. “Bila yang dibangun hanya paradigma ekonomi, maka lingkungan kelautan dan pesisir akan terancam. Maka oleh karena itu, Negara harus mengakuinya melalui pengakuan politik sehingga lembaga hukum adat dapat mengawal praktek konservasi sumber daya kelautan dan perikanan,” jelasnya.

Kegiatan ini diikuti oleh puluhan lembaga adat, intelektual serta lembaga internasional dari luar negeri.

Read More......

Rabu, 05 Agustus 2009

Investor Pariwisata Tunggu Cetak Biru Aceh Baru

Pemulihan usaha pariwisata di kawasan wisata Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang rusak terkena gempa bumi dan tsunami pada 26 Desember 2004 menunggu selesainya cetak biru.

''Untuk pembangunan kembali sarana pendukung di kawasan wisata seperti di Lampu'uk, Lhok Nga dan juga di Ulue Lhue masih menunggu selesainya cetak biru pembangunan kembali NAD pascatsunami yang ditargetkan akan selesai dalam waktu dekat,'' kata Wakil Kepala Dinas Pariwisata Provinsi NAD, Drs. Nurdin Ahmad di Ban da Aceh, Jumat.

Untuk pemulihan kawasan wisata terutama yang terletak di pinggir pantai pascatsunami, akan memperhatikan faktor-faktor pemulihan lingkungan sehingga dapat mengembalikan keseimbangan alam.

''Sesuai dengan wacana yang ada saat ini, pembangunan hutan bakau di sepanjang pantai akan dilakukan untuk mengurangi abrasi pantai. Nanti hal itu bisa dikembangkan menjadi potensi wisata agro,'' ujar Nurdin.

Meski baru saja mengalami bencana alam yang dampaknya membuat infrastruktur di beberapa lokasi wisata di NAD rusak, Nurdin optimis pariwisata di Aceh dapat tumbuh kembali.

''Secara tidak langsung, musibah yang menimpa NAD ini meninggalkan hikmah. Salah satunya adalah hampir seluruh dunia mengetahui Aceh. Meski dalam rangka memberikan bantuan, mereka datang ke sini dan bisa melihat bagaimana potensi keindahan alam Aceh,'' tuturnya.

Salah satu usaha yang akan dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi NAD untuk memulihkan sektor pariwisata di Aceh adalah mengundang sejumlah travel untuk datang mengunjungi Aceh, sehingga dapat melihat kondisi bumi Serambi Mekkah pasca tsunami.

Menurut Nurdin, pekerja di sektor pariwisata yang meninggal dan kehilangan pekerjaannya akibat gempa bumi dan tsunami yang melanda sebagian kawasan wisata di NAD diperkirakan mencapai 25.000 orang.

''Kelihatannya beberapa investor mulai tertarik untuk membuka usaha travel dan perhotelan di NAD,'' ujarnya.

Nurdin berpendapat, sebetulnya NAD mempunyai potensi wisata yang cukup besar. Namun kondisi konflik yang terjadi di daerah tersebut memberikan dampak yang cukup besar pada sektor pariwisata.

Read More......

Ribuan Siswa Gagal di UN 2009, Mutu Pendidikan Aceh Belum Bagus

Sebanyak 4.917 siswa SMA sederajat di Aceh tidak lulus Ujian Nasional (UN) 2009. Meski berjumlah ribuan, persentase ketidaklulusan siswa tahun ini menurun 17 persen, yakni 13 persen dari 30 persen pada tahun lalu. Bila dilihat jumlah anggaran, sudah bisakah mutu pendidikan Aceh dikatakan baik?

Menurut Pakar Pendidikan Aceh Prof Farid Wajdi, mutu pendidikan di Aceh belum bisa dianggap baik. Dengan banyaknya pengelolaan anggaran di bidang pendidikan Aceh saat ini, jumlah siswa yang tak lulus tahun ini masih terlalu besar dan belum sesuai harapan masyarakat.



“Penilaian ini yang perlu diluruskan, karena bagusnya mutu pendidikan bukan dilihat hanya dari peningkatan kelulusan siswa,” kata Rektor IAIN Ar-Raniry terpilih itu.

Ada beberapa segi yang perlu dilihat dalam mengukur mutu pendidikan di Aceh, di antaranya jumlah nilai dicapai, kualitas yang dihasilkan, dan persentase kelulusan.

Jika jumlah kelulusan mengalami peningkatan, tetapi nilai masih rata-rata dan kualitas siswa yang dihasilkan tidak mampu bersaing, maka masih bisa diartikan mutu pendidikan masih mundur.

“Jumlah 4.917 siswa yang tidak lulus ini, tetaplah siswa Aceh yang tidak bisa dikesampingkan dan perlu pendidikan lanjutan. Jadi mutu Pendidikan Aceh belum bisa dianggap sudah baik,” ucapnya.

Kata dia lagi, dengan besarnya anggaran pendidikan saat ini mencapai Rp1,8 triliun, prestasi kelulusan hingga 87 persen merupakan hal biasa. Penilaian adanya peningkatan kelulusan bisa terjadi, apalagi hasil tahun ini dibandingkan dengan 2008 yang mengalami kemerosotan total karena Aceh berada di nomor urut belakang pada saat itu.

“Sedangkan berapa nilai rata-rata siswa se-Aceh belum kita ketahui hingga kini. Ini juga harus diukur jika mau melihat adanya peningkatan mutu pendidikan atau tidak. Kita semua berharap mutu pendidikan Aceh jauh lebih baik lagi ke depan,” harap Farid.

Farid mencontohkan masalah rekruitmen di IAIN Ar-Raniry. Pengurus kampus di sana punya penilaian sendiri dan tidak berpaku pada lulus tidaknya siswa di UN 2009. Penilaian ini dinilai memungkinkan siswa yang tidak lulus UN sekalipun untuk bersaing sehingga dinilai lebih fair.

“Contohnya di Tarbiyah Bahasa Inggris. Setiap tahunnya ada seribuan yang daftar, tetapi yang kita butuhkan cuma puluhan sehingga yang lainnya harus digugurkan. Ini sama dengan UN, jika cuma tingkat lulusnya saja yang banyak, belum bisa dikatakan bagus,” jelasnya lag

Read More......

Anggaran Pendidikan Aceh Rp 1,3 Triliun

Banda Aceh, Kompas - Pada tahun anggaran 2009 ini, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam menganggarkan dana pembangunan pendidikan senilai Rp 1,3 triliun. Pemerintah memberikan prioritas kepada masyarakat miskin untuk bisa memperoleh pendidikan yang layak sampai dengan usia 18 tahun.

Meski demikian, dari dana sebesar itu, tidak seluruhnya merupakan dana untuk bidang yang dikelola Dinas Pendidikan semata.

”Sekolah tidak boleh memungut satu sen pun dari siswa. Semua pembiayaan sudah ditalangi oleh pemerintah, baik melalui dana Bantuan Operasional Sekolah maupun anggaran pemerintah daerah,” kata Kepala Dinas Pendidikan Nasional Provinsi NAD Mohd Ilyas ketika ditemui di Banda Aceh, Senin (2/2).

Dia menjelaskan, prioritas utama pembangunan pendidikan di Aceh adalah memperluas dan menambah kemudahan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama di wilayah-wilayah pedalaman provinsi ini, untuk dapat ikut serta dalam kegiatan belajar-mengajar. Utamanya, kata Ilyas, adalah pendidikan formal.

Untuk memperluas kesempatan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mengakses lembaga-lembaga pendidikan, kata Ilyas, setidaknya tiga program utama disiapkan oleh Dinas Pendidikan, yaitu program beasiswa untuk anak yatim piatu dan duafa korban konflik serta tsunami, membebaskan biaya masuk bagi calon murid dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, dan menambah jangka waktu penggunaan buku ajar di masing-masing tingkat satuan pendidikan.

Lebih lanjut Ilyas menjelaskan, pada tahun anggaran 2008, Pemerintah Provinsi NAD hanya menganggarkan beasiswa pendidikan bagi sekitar 80.000 anak usia sekolah. Program ini ditujukan bagi anak-anak yatim piatu korban konflik dan bencana tsunami. ”Masing-masing mendapatkan dana Rp 1,8 juta per tahun,” katanya.

Program ini dilanjutkan pada masa anggaran tahun 2009 dengan menambah jumlah penerima beasiswa sebanyak 20.000 orang. ”Total dana yang disediakan untuk tahun ini Rp 180 miliar,” katanya.

Selain itu, untuk mempermudah akses masyarakat menengah ke bawah, pemerintah juga melarang manajemen sekolah memungut biaya masuk kepada calon siswa. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk menyubsidi kegiatan tersebut.

”Termasuk dari anggaran Bantuan Operasional Sekolah sudah menjadi dana talangan tersendiri bagi operasional sekolah,” katanya. (MHD)

Read More......

Saatnya untuk "Bunuh Diri"

Terlampau sulit untuk mencintai tanah pusaka ini. Terlalu banyak tenaga yang mesti dikuras. Terlalu besar pengorbanan yang harus diberi. Itu apabila cinta tanah air bermakna: berbuat segala sesuatu yang diyakini perlu untuk kebaikan negeri tanpa pamrih; tak ada gaji tinggi, tak ada sanjung puji.

Sulit, karena tidak ada yang menuntut Anda untuk cinta mati kepada negeri ini seperti demikian. Banyak orang menginginkan Anda untuk hidup sebagaimana yang lain, berenang mengikuti arus, sama-sama mengabdikan diri kepada mitos modern berjuluk materialisme; pandangan-pandangan yang menjadikan kebendaan sebagai ukuran dan patron nilai.

Tak banyak, bahkan mungkin tak ada, yang menantikan seorang hero atau pahlawan. Untuk waktu sekarang, dengan keadaan yang katanya sudah kondusif, pahlawan tidak dibutuhkan. Pahlawan hanya perlu untuk dikenang setiap apel Senin. Berlainan dengan waktu prahara mengguncang tanah ini. Ketika ketakutan mencekam setiap batin. Banyak orang berharap Anda bersedia mati untuk melindungi mereka, membela kepentingan mereka. Itu dulu, ketika kaca mobil bersedia diturunkan untuk mengucap salam bagi orang rendahan yang sering dijadikan perisai. Sekarang sudah waktunya untuk hidup masing-masing, "mandiri"! Ya, bukankah setiap orang harus hidup mandiri?!

Saya teringat sebuah fragmen dari roman sejarah karya Najib Al-Kilani, "Layaliy Turkistan" (Malam-malam Turkishtan). Seorang pengawal jatuh hatinya kepada salah seorang dayang-dayang dalam istana Khuwarizmi Syah. Ia memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya itu kepada si gadis. Sayang, cintanya ditolak. Tak berapa lama kemudian bangsa Tatar (Mongol) menyerang kerajaan. Si gadis berubah pikiran, ia sekarang butuh pelindung. Ia pergi menjumpai pengawal, menyatakan bahwa ia telah menerima cintanya. Namun pengawal menjawab, "Duhai dinda, kedatanganmu sudah sangat terlambat. Tak ada lagi waktuku untuk itu. Seluruh pikiranku sekarang terkuras untuk persoalan membela negeri ini!"

Zaman pahlawan, zaman ketulusan, zaman pengorbanan hanya karena sebuah cinta yang dipersembahkan untuk tanah air, agaknya telah berlalu. Pahlawan "out of range". Pahlawan kata-kata yang sudah usang; tersimpan dalam kamus bahasa hanya sebagai sejarah. Tak pernah terdengar ada orang bercita-cita ingin jadi pahlawan. Kata-kata itu sendiri sekarang malah terdengar seperti suatu yang menggelikan, dan sering disambut dengan cibiran cemooh.

Istri Anda akan langsung minta cerai jika Anda mau jadi pahlawan. Anda bisa-bisa dikutuk dengan nama tujuh daratan tujuh lautan kalau pulang ke rumah dan bilang: saya hari ini bekerja untuk bangsa, tak ada keping emas yang bisa saya bawa pulang! Anda akan dituduh laki-laki tidak bertanggung jawab apabila Anda mendidik anak-anak Anda untuk menjadi pahlawan, melatih mereka jalan-jalan pengabdian kepada bangsa di berbagai bidang kehidupan.

Ketika itu, apa yang harus dilakukan? Pilihan paling "selamat" sekaligus amat menyakitkan ialah "bunuh diri". Meretakkan cinta Anda kepada tanah air sampai berkeping. Membumihanguskan seluruh pikiran dan kepedulian Anda kepada negeri sampai tak tinggal bekas. Lalu hidup dengan sikap penuh egois sejauh Anda bisa. Suatu hari kemudian, Anda berdiri di depan cermin dan tak lagi menemukan diri Anda di sana. Yang tampak cuma bayangan dari wujud yang semu. Anda tidak lagi seorang pahlawan seperti yang Anda inginkan. Anda tidak lebih dari buruh upahan, bekerja apabila gaji cocok, mencari posisi apabila pendapatan tinggi. Anda adalah …! Wujud yang sulit didefinisikan.

Ibnu Bathuthah dalam laporan perjalanannya ke Sumuththrah (Samudra/Sumatera) menyebutkan bahwa Sultan Al-Malik Azh-Zhahir gemar berjihad di jalan Allah. Penduduk Samudra mengikutinya, dan dengan suka rela.

Tidak ada yang terasa berat dari penuturan Ibnu Bathuthah tentang pendahulu negeri ini selain pernyataan bahwa mereka melakukan itu dengan suka rela. Tidak ada kepastian untung rugi dalam jihad tapi mengapa mereka melakukannya dengan suka rela? Ada apa dengan mereka? Mengapa hari ini beberapa butir keringat untuk negeri selalu ada tarif harganya, bahkan tanpa keringat pun ada harganya? Semoga Tuhan memaafkan Ibnu Bathuthah karena telah menyebut kata-kata "suka rela"!

Sudahlah Ibnu Bathuthah. Mungkin penjelajah muslim yang laporannya selalu dijadikan rujukan oleh para ahli sejarah, telah salah ingat. Tapi bagaimana halnya dengan Nabi saw dan para sahabatnya, yakni mereka yang mungkin tidak termasuk orang-orang yang kita kenang di setiap apel Senin.

Apa yang mereka cari dari seluruh gerak budaya dan peradaban rabbaniy yang mereka lakukan dalam seluruh umur hidup mereka di dalam Islam?

Mengapa mereka begitu tenteram dalam beban-beban kepahlawanan yang mereka tanggung?

Barangkali karena mereka Nabi dan para sahabatnya sementara kita bukan. Dan mungkin lagi pernyataan kita bahwa mereka adalah ikutan dan teladan kita, sesungguhnya tidak lebih dari sekadar pemanis kata, tidak sebenar-benarnya. Mungkin kita hanya takut dicap murtad kalau kita mengungkapkan yang sebenarnya lalu jenazah kita nanti tidak dilayat seperti layaknya. Jadi, kita hanya mengambil yang enteng-enteng saja dari syari'at Tuhan, hal-hal yang tidak begitu mengganggu kesenangan dan kemewahan hidup kita di dunia, lalu mencampakkan selain itu di belakang kita seperti yang dilakukan Bani Israil. Bila dibutuhkan alasan atas sikap demikian, maka jawaban populer sudah tersedia: perilaku Nabi dan para sahabat beliau sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini!

Enaknya, memang, kita hidup dalam kepalsuan. Hidup dalam diri yang telah kita bunuh sendiri, dan berusaha semampu mungkin untuk berada berjauhan dari pandangan-pandangan hidup pahlawan. Sebab, hidupnya tidak seenak orang yang hidup dalam kematian diri. Pahlawan tentu lebih sering dikunjungi pedih dan lara, dan sudah sangat jarang orang yang siap untuk itu dalam "kondisi kondusif" seperti sekarang ini!

Keberuntungan yang diperoleh pahlawan pun tidak menggiurkan lantaran keberuntungan itu cuma pada pahlawan telah berhasil menemukan visi hidupnya yang hakiki; hidup dalam cita-cita kehidupan yang asli: meraih kemenangan di hari akhir di mana kehidupan yang sebenarnya berada. "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (Al-'Ankabut: 64).

Boleh saja semua orang mencemoohkan keberuntungan yang diperolehnya itu sebagai sebuah kekonyolan, tapi bagi dirinya, keberuntungan tersebut telah memberikannya dorongan kuat untuk senantiasa berhubungan dengan Zat Penguasa sekalian alam; memberikannya kekuatan untuk terus berbuat kebaikan; memberikannya ketentraman batin yang tak terlukiskan; dan juga memberikannya suatu kepuasan sebab ikrar yang pernah diulang-ulangnya sejak waktu kecil dulu untuk dapat berguna bagi bangsa dan agama mampu ia pertahankan, tak luntur seiring waktu, dan telah ia laksanakan sejauh kemampuannya.

Keberuntungan memperoleh visi tersebut telah menjadikannya hidup, dan cuma dia yang menikmati hidup sebab tak ada kehidupan pada jiwa yang mati; jiwa yang telah dibunuh sendiri oleh pemiliknya.

Read More......

Kongres AS Dukung Indonesia Melawan Teroris

Kongres Amerika Serikat mengesahkan sebuah resolusi yang berisi dukungan bagi Indonesia setelah terjadinya ledakan bom di JW. Marriott dan Ritz Carlton Jakarta.

Resolusi ini dikeluarkan pada tanggal 23 Juli 2009. resolusi disahkan oleh komite urusan luar negeri setelah diusulkan oleh 23 anggota kongres sebelumnya.

Demikian disampaikan dalam siaran pers yang diterima oleh The Globe Journal dari staff Konsulat Amerika, Rachma Jaurinata, Selasa (28/7). Dalam siaran pers tersebut disebutkan bahwa selain dukungan terhadap pemerintah Indonesia, Kongres juga mengutuk pelaku bom yang belum diketahui dan menyatakan simpati kepada para korban bom. Bom yang meledak di hotel J.W. Marriott and Ritz-Carlton hotels yang terletak pada pusat bisnis Jakarta menewaskan setidaknya tujuh orang dan melukai 50 orang.

Dalam resolusi disebutkan insiden pengeboman ini merupakan kasus pertama sejak September 2005, menunjukkan perkembangan Indonesia dalam memerangi teroris beberapa tahun belakangan ini, sebut resolusi tersebut.

Keberlanjutan pembangunan demokrasi dan institusi di Indonesia merupakan titik kritis untuk membendung gelombang kekerasan dan oleh karenanya Indonesia dan Amerika Serikat memiliki kepentingan yang sama. Kongres terus mendukung demokrasi Indonesia melalui Kongres Kaukus Indonesia dan Komisi Dukungan Demokrasi yang produktif dalam bekerja sama, bunyi resolusi tersebut.

Siaran pers tersebut dikirimkan hampir ke seluruh media di Aceh. Hal ini tampak dari alamat-alamat email tujuan yang umumnya merupakan jurnalis yang bekerja di Aceh

Read More......

Selasa, 04 Agustus 2009

Siswi SLDP Digagahi Pengurus Yayasan Bukesra, Satu Tersangka Diamankan

Banda Aceh | Harian Aceh - Siswi Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Yayasan Bukesra dilaporkan digagahi pengurus yayasan tersebut. Disinyalir, pelecehan seksual itu sudah berlangsung lama dan memakan banyak korban. Namun, hingga kini polisi baru mengamankan satu tersangka.

Para pengurus yayasan yang berada di bawah koordinasi Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh ini seharusnya bertugas mendidik dan menjaga para siswa cacat. Namun, kenyataannya mereka terlibat pelecehan seksual terhadap para siswi yang berkemampuan terbatas itu

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Aceh, Anwar Yusuf Ajad mengatakan terbongkarnya kasus itu atas pengaduan sejumlah guru di yayasan tersebut kepada pihaknya. Para guru juga telah melaporkan kasus itu ke Poltabes Banda Aceh pada 24 Juli lalu.

“Atas pelaporan guru ini, salah seorang tersangka bernama Zakaria, 40, telah ditangkap polisi. Pria yang selama ini bertugas mengantar jemput ketua yayasan itu dituduh memperkosa seorang siswi SDLB asal Pidie,” paparnya, Senin (3/8).

Menurut pengakuan para guru, lanjut Anwar, pemerkosaan yang dilakukan tersangka Zakaria itu terjadi pada 21 Juli lalu pukul 15.00 WIB, di Asrama Putri Bukesra di Desa Jurong Pejera, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar. “Perbuatan tersangka Zakaria itu disinyalir atas sepengetahuan Ketua Yayasan Bukesra, Zainuddin, serta diketahui ibu ketua asrama putri,” sebutnya.

Anwar menyebutkan, saat ini korban yang sudah diambil oleh keluarganya berada di bawah pengawasan KPAID. “Kami minta polisi mengusut tuntas kasus ini, termasuk adanya indikasi lain berupa dugaan pelecehan seksual terhadap anak cacat lainnya di SDLB itu,” tandasnya.

Sementara Kapoltabes Banda Aceh Kombes Pol Syamsul Bahri melalui Kepala Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (PPA) Aiptu Firman mengatakan kasus pelecehan seksual tersebut sudah ditangani pihaknya.

“Sejauh ini baru satu tersangka yang kami tahan, yaitu Zakaria. Dia kita jerat pasal 80 UU No.23/2002 tentang perlindungan anak. Kami juga akan terus menyelidiki kasus ini hingga selesai. Tidak tertutup kemungkinan adanya penambahan tersangka,” paparnya.

Sudah Berlangsung Lama

Salah seorang penyandang cacat yang juga alumni yayasan Bukesra, Hanafiah, 41, menyatakan perlakuan itu sudah belangsung lama di yayasan tersebut. “Ini sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak ketua yayasan sebelumnya yang kini sudah meninggal dunia,” ujar Hanafiah yang kini tinggal di Lambhuk, Banda Aceh.

Disebutkannya, siswi di sana sering dilecehkan secara seksual dan dianiaya oleh Zainuddin. “Semasa saya saja sudah banyak korbannya, dan saya siap jadi saksi jika diminta pihak berwajib,” tandasnya

Read More......

Film Black Road William Nessen Diputar di Banda Aceh

Komunitas Aceh Movie Maker (AMM) bekerjasama dengan Sharkeye Organizer dan Bang Lah Cantinos, merencanakan memutar film dokumenter Black Road karya William 'Abu Billy' Nessen. Rencananya film akan diputar di Teater Terbuka Jurnalis yang berlokasi di pelataran parkir kantor LKBN ANTARA, Biro Banda Aceh, 2 Februari 2008 pukul 20:00 WIB. Selain Black Road, AMM juga akan memutar sejumlah film dokumenter karya anggota Aceh Movie Maker lainnya.

Seorang panitia, DJ Reza, Sabtu (26/1) malam, mengatakan, pihaknya akan mengupayakan agar William Nessen dapat menghadiri pemutaran filmnya sekaligus melakukan tukar pikiran dengan para anggota AMM mengenai film dokumenter.

Hal itu dibenarkan Tarmizy Harva (Sharkeye) dan Hotli Simanjuntak (AMM) yang menjumpai Abu Billy di suatu tempat di Banda Aceh, Sabtu. "Dia berjanji kepada kami akan berusaha hadir dan telah memasukkan kegiatan ini dalam agenda dia", kata Harva.

Harva juga mengharapkan kepada peminat film dan insan perfilman Aceh yang ingin menyaksikan dan ikut serta dalam kegiatan ini, silahkan datang ke lokasi. "Tapi mohon maaf, lokasinya ala kadar, tidak seperti teater 21. Ha.. Ha...," kata Harva sambil terbahak.

Read More......

Aceh Tidak Punya Alat Deteksi Flu Babi

Banda Aceh – Belum tersedianya Thermal Scanner (Pemindai suhu tubuh) untuk mendeteksi penyebaran virus H1N1 di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) lagi-lagi dihadapkan dengan persoalan tiadanya anggaran. Begitu penuturan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dr TM Thaib M Kes di sela-sela wisuda mahasiswa STIKES U’Budiyah di Gedung BKOW Banda Aceh Sabtu (1/8).

Memang diakuinya, selama ini para penumpang dari luar negeri hanya diperiksa suhu tubuhnya secara manual dengan thermometer. Tentu hal itu sangat memprihatinkan mengingat Bandara SIM sebagai bandara internasional. Namun Thaib mengaku pihaknya tak bisa berbuat banyak. Pasalnya setelah beberapa kali mengajukan pengadaan Thermal Scanner yang bernilai Rp 1 miliar lebih, pihak Depkes RI berdalih tidak adanya anggaran. “Bukan kami tak peduli dengan tiadanya Thermal Scanner. Tapi beberapa kali barang itu diajukan, pihak Depkes mengaku tidak memiliki anggaran tersebut untuk Aceh,” jelasnya.

Anehnya, dia menyebutkan Thermal Scanner tidak begitu mendesak untuk diadakan di Aceh. Alasannya meski Bandara SIM berstatus internasional, namun para penumpang kedatangan luar negeri tidak langsung mendarat di SIM. Para penumpang yang berasal dari Aceh dengan kedatangan luar negeri seperti dari Malaysia dan Singapore duluan mendarat di Polonia Medan. “Jadi di sana mereka sudah melalui pemeriksaan Thermal Scanner. Jadi kalau pun pemeriksaan suhu tubuh di SIM hanya menggunakan Thermometer, saya kira itu tidak masalah lagi,” ungkapnya.

Pernyataan ini mendapat bantahan langsung dari Rinaldi salah satu penumpang Air Asia yang baru kembali dari Malaysia pada Rabu (29/7) lalu. Menurut Rinaldi yang ditemui pada acara yang sama, para penumpang asal Aceh yang baru lepas landas dari Malaysia, maupun Singapore langsung mendarat di SIM tanpa mendarat di Polonia Medan. Untuk itu, pemeriksaan yang dialaminya tidak pernah melalui Thermal Scanner yang jauh lebih efektif. “Untung saja para penumpang tidak terjangkit. Coba kalau ada, pasti pemerintah bakal kalang kabut karena pemeriksaan suhu tubuh masih mengunakan thermometer,” katanya khawatir.

Read More......

Sabtu, 01 Agustus 2009

Siapa Berani Sidik BPKS?

HASIL audit coverage Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI pada realisasi anggaran Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) tahun 2006-2007, menemukan beberapa penyimpangan keuangan negara. Dari 44 kontrak senilai Rp73,572 miliar (sumber dana APBN, APBA, dan pendapatan lainnya) yang diaudit, BPK menemukan 14 penyimpangan yang merugikan keuangan negara senilai Rp23,817 miliar.

Sebelumnya, BPK juga menemukan kejanggalan-kejanggalan yang merugikan negara pada pelaksanaan pembangunan dermaga Sabang. Dalam proyek tersebut, BPK mensinyalir BPKS melakukan kelebihan bayar kepada perusahaan rekanan mencapai Rp2,7 miliar. Namun, menurut Sekretaris BPKS Abul Halim, pihaknya telah menarik kembali kelebihan bayar itu Rp657.040.263 dan sudah dikembalikan ke kas negara.

Sementara itu, Forum Anti Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA) juga menemukan sejumlah penyimpangan pada proyek-proyek BPKS. LSM Antikorupsi itu ikut mempertanyakan kebijakan rekrutmen dan penggajian sembilan asisten teknis dan sembilan staf ahli oleh Kepala BPKS sejak Tahun Anggaran (TA) 2007. Mereka menilai, rekrutmen tersebut cacat hukum, karena bertentangan dengan UU 37 Tahun 2000 dan Pergub 37 Tahun 2007. Belum lagi proses pembebasan tanah yang ditengarai sarat masalah.

Dari sekian kasus dugaan penyimpangan yang ditemukan itu, kini melahirkan pertanyaan besar yang terus mengganggu pikiran publik, mengapa tidak pernah ditindaklanjuti para pihak yang berkompeten? Apakah semua dugaan penyimpangan itu sebatas kelalaian administrasi ataukah ada unsur tindak pidana korupsi di sana?

Anggota Komisi C DPR Aceh, Surya Darma menilai, seharusnya yang paling bertanggung jawab terhadap penyimpangan di BPKS adalah Dewan Kawasan Sabang (DKS) yang diketuai Gubernur Aceh. Namun, anehnya, DKS terkesan tidak punya nyali untuk mengontrol setiap kegiatan di BPKS. Padahal pengawasan dari DKS terhadap BPKS telah diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 37/2000 tentang pengelolaan Kawasan Bebas Sabang. UU ini menugaskan DKS untuk memantau dan mengawasi kerja BPKS agar berjalan seperti yang diharapkan.

“Namun tindak lanjut ini dari tahun 2006 hingga sekarang tidak ada. Atas hal ini, timbul dua asumsi, yaitu DKS yang diketuai oleh Irwandi ‘terlalu harmonis’ dengan BPKS. Atau sebaliknya, DKS dengan BPKS tidak rukun sehingga tidak dapat bekerja sama. Akhirnya, BPKS bekerja tanpa pemantauan DKS,” jelas anggota dewan dari Fraksi PKS ini saat dimintai pendapatnya, beberapa hari lalu.

DKS Ompong?

Melihat cara kerja pengurus DKS selama ini, maka masyarakat pun mulai mempertanyakan keberadaan dewan tersebut. Apakah DKS sekedar pajangan? Buktinya, hingga kini belum terlihat menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana yang diamanahkan Undang-Undang Nomor 37/2000 tentang pengelolaan Kawasan Bebas Sabang.

Apalagi orang-orang yang duduk di Kepengurusan DKS selama ini terkesan sangat hati-hati dalam menyikapi berbagai dugaan penyimpangan di BPKS. Hal ini juga dialami tim Harian Aceh yang berkali-kali mencoba menanyakan persoalan itu kepada orang-orang di kesekretariatan DKS. Setiap kali disinggung masalah BPKS, mereka selalu mengaku tidak punya wewenang untuk berbicara terlalu jauh tentang lembaga yang diketuai Saiful Achmad itu. Bahkan terkesan, para pengurus DKS sedang menjalankan gerakan tutup mulut menyangkut persoalan di tubuh BPKS. Ada apa dengan mereka?

Memang, pada 14 Maret 2009, pengurus DKS mengadakan rapat dengan Tim Advisory BPKS. Rapat yang digelar berdasarkan surat dari Tim Advisory Nomor D2/TA-BPKS/2009 dan Undangan Gubernur Aceh Nomor 510/11423 itu melahirkan sembilan poin kesimpulan, yakni:

1. Sekretariat DKS harus dikepalai oleh seorang yang profesional.
2. Sekretariat DKS segera menyurati UNDP untuk memberikan hasil syudy mereka terhadap dua feasiability studies (USTDA) dan DPC).
3. Sekretariat DKS segera membuat surat keputusan baru tentang Tim Advisory yang sesuai dengan Pergub 37 tahun 2007.
4. Sekretariat DKS segera membuat SK untuk pelaksanaan perombakan seluruh manajemen BPKS sesuai dengan hasil rapat-rapat sebelumnya.
5. Sekretariat DKS segera membentuk Tim Audit Independen untuk melakukan forensic audit BPKS sampai 2009.
6. Seluruh surat yang menyangkut dengan BPKS harus masuk melalui sekretariat DKS.
7. Manajemen BPKS harus berdomisili di Kota Sabang dan semua kantor perwakilan di luar Sabang harus dibubarkan.
8. Selain tim advisory yang dibentuk oleh ketua DKS dalam keputusan ketua DKS nomor:193/056/2006, harus segera dibubarkan.
9. BPKS agar segera melaksanakan Pergub 37 tahun 2007 secara penuh.

Kesimpulan rapat tersebut ditandatangani Bukhari Daud (Anggota DKS) , Munawar Liza Zainal (Anggota DKS), T. Said Mustafa (Wakil Kepala Sekretariat DKS), A. Hamid Zein ( Sekretaris Sekretariat DKS), Ibrahim Abdullah (Ketua Tim Advisory), Said umar Husein (Anggota Tim Advisory), Jasman J Ma’aruf (Anggota Tim Advisory), Jamaluddin Ahmad (Anggota Tim Advisory), dan Asyiek Ali (Anggota Tim Advisory).

Namun, boleh jadi, kesimpulan rapat itu hanya sebagai bundel administrasi DKS. Sejauh mana realisasinya pun tak jelas. Buktinya, sampai sekarang beberapa poin dari kesimpulan itu secara kasat mata belum ditindaklanjuti.

Sebagai contoh, DKS belum pernah menginformasikan ke publik tentang pembentukan Tim Audit Independen untuk melakukan forensic audit BPKS sampai 2009. Sejatinya, guna mencermati apakah telah terjadi penyimpangan atau tidak dalam penggunaan anggaran BPKS selama ini, memang harus dilakukan audit secara menyeluruh. Apalagi, sejauh ini masyarakat belum pernah mendengar adanya pertanggungjawaban seputar kucuran anggaran yang dikelola BPKS.

Kemudian, hingga kini BPKS masih berkantor di Banda Aceh, sementara hasil rapat tersebut merekomendasikan Manajemen BPKS harus berdomisili di Kota Sabang dan semua kantor perwakilan di luar Sabang harus dibubarkan. Dengan demikian, keputusan rapat itu memang tidak ada tindak lanjut sama sekali. Kalau pun ada, sebatas menjadi kertas pembungkus cabe atau ikan asin di pasar-pasar tradisional.

DPRA Mengelak

Semula Wakil Ketua DPRA Tgk H Raihan Iskandar Lc sempat menyatakan pihaknya mengirimkan tim investivigasi pengadaan tanah ke Sabang. Tim itu, kata dia, ditugaskan untuk menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan pada proses pembebasan tanah warga oleh BPKS.

“Anggaran BPKS yang setiap tahun naik 100 persen dengan nilai ratusan miliar rupiah hanya dijadikan untuk program jual beli tanah masyarakat. Karenanya, kami mengirimkan tim investivigasi ke Sabang,” ujar Tgk H Raihan Iskandar Lc, sebagaimana diberitakan Harian Aceh edisi Sabtu (4/7).

Menurut dia, selama enam bulan terakhir pihak DPRA banyak mendapat laporan dari masyarakat tentang proses pengadaan tanah oleh BPKS yang dilakukan di luar prosedur. “Berdasarkan laporan yang kami terima, BPKS juga sering tidak melibatkan Pemko Sabang dalam pengadaan tanah yang dibeli dengan uang negara dari APBN maupun APBA,” lanjutnya.

Alasan lain DPRA mengirimkan tim tersebut, kata dia, karena dewan juga mendapat laporan hasil pemeriksaan BPK bahwa pengadaan tanah yang dilakukan BPKS secara luar biasa. “Luar biasa ini dimaksudkan, selama hampir tiga tahun terakhir, ringkasan anggaran BPKS tidak lebih hanya program pengadaan tanah untuk investasi. Tanah masyarakat yang dibeli pun secara aneh dan di luar prosedur,” jelas Raihan, tanpa mau merincikan maksud aneh tersebut.

Akan tetapi, ketika dikonfirmasi ulang dua hari kemudian, Raihan menyatakan pihaknya baru sebatas mewacanakan pengiriman tim. Tim tersebut juga tidak jadi dikirimkan dengan alasan bahwa masalah pembebasan tanah merupakan wewenang DPR RI karena anggaran yang digunakan BPKS bersumber dari APBN.

Alasan tersebut tentunya tak masuk akal. Karena, dalam pengadaan tanah, pengadaan mobil dan kendaraan roda dua untuk pimpinan dan karyawan atau pengeluaran lain untuk pengadaan aset tidak bergerak, BPKS juga mendapatkan kucuran dana yang bersumber dari APBA. Maka, DPRA juga berhak melakukan chek and richek atau pengawasan terhadap proyek dan program kerja BPKS.

Selain itu, kalaupun yang digunakan adalah dana APBN, DPRA juga berhak merespon setiap laporan masyarakat tentang dugaan penyimpangan. Apalagi persoalan itu berimbas langsung pada masyarakat di daerah ini. Paling tidak, pihak DPRA dapat mengetahui persoalan yang sebenarnya dan mengumumkannya ke publik. Sehingga, tidak menimbulkan fitnah di masyarakat dan tidak ada pihak yang dirugikan oleh dugaan-dugaan penyimpangan yang terus dipertanyakan publik itu. Atau jangan-jangan dugaan penyimpangan di BPKS memang dilatarbelakangi oleh penyimpangan struktural yang terorganisir?

Kalau memang demikian, tentunya sangatlah berbahaya. Bila pejabat eksekutif, legislatif, dan yudikatif sudah tidak peduli dengan laporan-laporan masyarakat, lalu di mana lagi ruang publik untuk mengadukan permasalahan yang terjadi di depan mata mereka?

Karenanya, untuk mengungkap berbagai dugaan penyimpangan di BPKS sebagaimana temuan BPK dan FAKTA, rasanya sangat diperlukan tindakan pro-aktif dari aparat penyidik. Pola penegakan hukum kekinian tidak bisa dilakukan dengan cara-cara konvensional melalui sistem pencet tombol, melainkan membutuhkan suatu tipe penegakan hukum yang penuh greget. Maka, faktor keberanian pun menjadi penting. Tapi, siapa berani sidik BPKS? Jawaban itulah yang kini dinantikan publik.(tim)

T Syaiful Achmad: Kami Bekerja Sesuai Aturan

Menyikapi berbagai temuan Forum Anti Korupsi dan Transparansi Anggaran (FAKTA), Kepala BPKS T Syaiful Achmad menyatakan pihaknya sudah bekerja sesuai aturan. Untuk rekrutmen beberapa staf ahli di BPKS, kata dia, dilakukan sesuai petunjuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Staf ahli tersebut merupakan pegawai non-struktural dengan masa kerja sementara sehingga pengangkatannya menjadi wewenang penuh kuasa anggaran BPKS.

“Jadi, rekrutmen staf non-struktural ini tidak perlu dilaporkan ke Dewan Komisi Sabang (DKS), dan sudah diatur dalam DIPA. Rekrutmen ini cukup kebijakan saya sebagai kuasa pengguna anggaran,” kata Syaiful kepada Harian Aceh, Rabu (9/7) lalu.

Syaiful menjelaskan, perekrutan staf tersebut guna membantu tugas BPKS dalam menyukseskan program pengembangan Sabang. Kepada staf tersebut, kata Saiful, juga tidak mewajibkan berkantor di BPKS dan membuat laporan kerja.

Syaiful menyayangkan sikap FAKTA yang terlalu cepat melaporkan ke media tentang indikasi yang mereka temukan. “Sementara hingga kini mereka tidak pernah mengecek ke kami tentang kebenaran penyimpangan yang mereka temukan tersebut. Mereka hanya berkoar-koar di media berdasarkan data-data tidak jelas,” tandasnya.

Menyangkut dana kelebihan pembayaran kepada dua kontraktor pelaksana Pembangunan Dermaga Bongkar dan Dermaga Pelabuhan Sabang, sebelumnya Sekretaris BPKS Abdul Halim menyatakan pihaknya telah menarik kembali sebagian dana kelebihan pembayaran tersebut.

“Dari PT Nindya Sejati kami tarik kembali Rp657.040.263,“ ujar Abul Halim, yang dikonfirmasi Harian Aceh, beberapa waktu lalu. Menurutnya, pengembalian uang negara dari PT Nadya Sejati itu dilunasi pada 26 April 2009 yang disetorkan ke rekening perbendaharaan Negara KPPN Banda Aceh dengan nomor rekening 2020114 di PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Aceh, tertanggal 28 April 2009.

Namun, dari Rp2,7 miliar kelebihan pembayaran atas pembangunan dermaga tersebut, pihak PT. Andesmont Sakti belum mengembalikan baja profil H senilai Rp1.440.000.000 sebagaimana yang disebutkan dalam audit BPK tidak ditemukan di lapangan. “Untuk pengembalian keuangan BPKS dari PT Andesmont itu sedikit mengalami kendala. Karena, baja profil H senilai Rp 1.440.000.000 yang menurut BPK tidak ditemukan di lapangan telah dikembalikan oleh pihak rekanan ke BPKS,” sebut Abdul Halim saat itu.

Sementara pihak BPK, lanjut dia, menganggap baja profil H itu tidak dapat diterima sebagai pengembalian keuangan negara karena saat dilakukan audit barang berharga miliaran itu tidak ada di lapangan.

Meski begitu, menurut Kepala BPKS Saiful Ahmad yang dikonfirmasi ulang, pihak Andesmont akan segera melunasi kelebihan pembayaran itu sesuai audit BPK RI Rp2.069.946.100. “Jadi, persoalan itu kami anggap selesai,” katanya.(tim)

Read More......

Followers