Jumat, 07 Agustus 2009

Ideologi Pasar dalam Pendidikan Aceh

Banyak jalan menuju Roma. Peribahasa ini mungkin diterjemahkan oleh Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh ke dalam sistem penerimaan calaon mahasiswa (Cama). Setelah UMB PTN, lalu SNMPTN, kini UMMPTN atau JMU (Jalur Masuk Mandiri). Nanti entah apa lagi! Bagi sebagian orang, mungkin ini angin surga yang berhembus dari kawasan Darussalam, Unsyiah berbaik hati dan amat konsen dalam misi pencerdasan masyarakat dengan memberikan kesempatan yang semakin banyak untuk menimba ilmu di Universitas tersebut.

Ah, yang benar? Ya, semakin banyak jalur masuk berarti kan kesempatan untuk lulus semakin besar. Lantas, semakin banyak pula calon mahasiswa yang diterima. Jika tidak lulus di jalur pertama, coba masuk melalui jalur ke dua. Jika tidak lulus juga, masih ada jalur selanjutnya. Nah! Jika tidak lulus juga, bagaimana? Apa mungkin? Bagi orang cerdik, tentu saja logikanya tidak sesederhana demikian.

Penambahan jalur masuk tidaklah serta merta memperluas kesempatan dan memperbesar daya tampung. Jika Anda memang lulus di jalur pertama, Anda tidak memerlukan jalur kedua dan ketiga. Begitu juga jika Anda lulus di jalur kedua, Anda tidak memerlukan dua jalur lainnya. Demikian seterusnya. Jalur-jalur masuk tersebut tidak memperbesar kesempatan Anda untuk lulus. Kesemua jalur tersebut juga tidak berarti Unsyiah semakin memperbesar daya tampungnya. Kesempatan dan peluang tetap sama, karena bagaimanapun Unsyiah memiliki daya tampung maksimal. Jadi, seberapa banyak pun jalur masuk yang dibuka, tetap saja total jumlah mahasiswa yang dapat diterima sama (sesuai daya tampung). Lalu, kenapa pula harus dibuat berjalur-jalur begitu? Bukankah penerimaan mahasiswa baru sebenarnya dapat dilakukan sekali saja (satu jalur)? Simpel, efisien, lebih pasti, fair dan adil, hemat uang beli formulir, BBM, dan sebagainya. Ini dia persoalan yang perlu dicermati?

Penciptaan jalur-jalur tersebut adalah bagian dari agenda pendidikan institusional Unsyiah untuk mempertahankan status quo-nya sebagai Universitas terbesar di Aceh dengan segenap keistimewaannya. Unsyiah sangat mafhum bahwa jumlah lulusan sekolah menengah atas setiap tahun bertambah dan minat untuk mengikuti pendidikan tinggi juga terus meningkat meningkat. Hampir setiap tahun jumlah calon mahasiswa baru semakin besar sementara daya tampung universitas dan perguruan tinggi yang ada terbatas. Ini artinya ada kesenjangan yang tinggi antara permintaan/kebutuhan dengan ketersediaan (demand and supply gap). Nah, lahirlah hukum pasar, dan Unsyiah dalam bidang ini tergolong ahlinya. Pasar (semi pasar) penerimaan mahasiswa baru ini amat potensial sehingga harus dikelola dengan baik demi kepentingan bisnis yang menyatu dengan lembaga (citra, dominasi, kekuatan, pengaruh, dan tentu saja profit), dan kepentingan kelas sosial tertentu, bukan kepentingan pendidikan, calon mahasiswa, dan publik secara luas—untuk siapa dan kepada siapa lembaga itu seharusnya memberikan pelayanan dan bertanggungjawab.

Ketika ideologi ekonomi menguasai pendidikan, maka prinsip-prinsip pasar dan kriteria komersil akan bergerak menginvasi kampus universitas dan perguruan tinggi. Lalu, kebijakan dan praktik pendidikan pun—sebagaimana terjadi dalam kehidupan pasar, mengedepankan kompetisi dan seleksi. Pendidikan sebagai hak sosial fundamental secara ontologis epistemologis dimodifikasi menjadi komoditas barang yang diperjualbelikan. Pemerintah merasa bahwa kewajiban memenuhi hak pendidikan warga negara bisa ditunda-tunda, bahkan kalau bisa diabaikan. Karena pendidikan membutuhkan biaya besar sehingga akan menguras banyak anggaran, pemerintah mendorong terjadinya mekanisme pasar (semi pasar) dalam pendidikan. Efeknya (salah satu), pendidikan menjadi barang mahal yang diperebutkan. Lembaga pendidikan menjadi agen penguasa untuk menentukan siapa yang berhak sekolah/kuliah dan siapa yang tidak melalui proses seleksi (beragam tes, persyaratan, dan prosedur). Melalui proses seleksi, lembaga-lembaga pendidikan juga menjadi sosok yang “sok tahu” fakultas, jurusan, prodi, dan program apa yang boleh diambil oleh seseorang atau tidak. Berbagai institusi pendidikan (publik dan privat) secara bertahap dan dalam tingkat berbeda bertindak sebagai penyedia produk barang dan jasa pendidikan sehingga merasa berhak menentukan label harga setiap produk yang ditawarkannya. Yang lebih fatal adalah ketika watak kompetisi dan seleksi sebagai ciri utama ideologi pendidikan korporatif ini secara gradual mengubah wajah institusi dan praktik pendidikan menjadi pelayan kelas pengauasa dan orang kaya, media penegas kelas-kelas sosial, melanggengkan ketimpangan ekonomi, sosial, dan politik, dengan mengabaikan misi sosial pendidikan dan pemenuhan kepentingan publik.

Penguasaan ideologi pasar terhadap prinsip demokrasi dan misi sosial pendidikan mendorong lahirnya banyak kebijakan dan praktik pendidikan yang semata-mata tunduk pada motif-motif ekonomi dan profit. Pendidikan mengalami deformasi dari makna dan misi sucinya menjadi alat ideologi ekonomi yang sepenuhnya bekerja untuk tujuan-tujuan pragmatis. Sistem penerimaan Cama oleh Unsyiah adalah salah satu bentuk komersialisasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik yang dibungkus dalam ritual tes dan didandani dengan istilah-istilah jalur. Jika dibongkar, jalur-jalur masuk tersebut sebenarnya bekerja secara intensif untuk memaksimalkan laba dan melipatgandakan keuntungan. Semakin banyak jalur, semakin banyak pula keuntungan yang diperoleh dari penjualan formulir pendaftaran.

Saya tidak mengerti, kenapa lembaga pendidikan kebanggaan rakyat Aceh ini tega menarik dana publik (uang formulir) sedemikian besar—padahal lembaga ini mendapat kucuran dana yang tidak sedikit baik dari APBN maupun APBA dan hampir seluruh pegawainya juga digaji dari uang rakyat—untuk kemudian memaksa anak-anak Aceh mengundi nasib dalam beragam tes yang mereka buat-buat. 150.000—300.000 bukanlah uang yang tidak sedikit bagi Apa Maun yang kerjanya cuma keumawe ungkot bace di pedalaman Nagan Raya sana. Selain itu, yang membuat kita bertanya-tanya, ada yang sudah tak lulus tes, tapi kok bisa lulus pada tes yang lain. Belum lagi yang tidak lulus tes beberapa kali, tapi karena ia anak orang kaya, punya banyak uang, ikut tes lagi, lulus juga ujungnya. Aneh!

Kentalnya ideologi pasar dan orientasi profit dalam sistem penerimaan Cama Unsyiah telah berimplikasi pada proses dehumanisasi pendidikan, komodifikasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik, lunturnya budaya demokrasi sosial dan akuntabilitas publik, menguatnya kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik, serta mendorong desintegrasi dan konflik sosial antar kelas sosial.

Pertama, dehumanisasi pendidikan. Jalur-jalur tes masuk memperlakukan calon layaknya konsumer dalam perspektif ekonomi semata, bukan dari potensi kemanusiaanya. Tes membatasi pilihan dan minat individu untuk belajar pengetahuan. Tes membunuh kebebasan seseorang untuk menentukan bidang dan orientasi akademiknya. Dalam batas yang lebih krusial, jalur-jalur tersebut bertindak tidak saja menentukan pilihan prodi, jurusan, dan fakultas apa yang boleh diambil oleh calon, melainkan justru memvonis apakah seseorang boleh dan layak menempuh pendidikan tinggi atau tidak.

Kedua, komodifikasi kehidupan intelektual dan pengetahuan akademik. Model seleksi dan jalur-jalur masuk Cama menunjukkan telah terjadi komodifikasi pendidikan. Pendidikan melalui kebijakan dan praktik penerimaan Cama secara berjalur, diperlakukan layaknya barang dan jasa dalam perspektif ekonomi. Sejak proses penerimaan, para calon telah diperlakukan sebagai kostumer, menerima jasa pendidikan sesuai bayaran yang mereka berikan. Hubungan berpola kostumer—suplier dalam proses pendidikan berlanjut dalam penentuan fakultas dan subjek ilmu yang diambil. Selanjutnya subjek-subjek ilmu pengetahuan diberikan label harga, kedokteran 90 juta, teknik 15 juta, ekonomi 5 juta, keguruan dan hukum 2 juta, begitu seterusnya. Ideologi pasar telah merusak nilai-nilai ilmu pengetahuan dan kemurnian pendidikan. Seolah-olah kedokteran itu lebih hebat dan lebih tinggi nilainya daripada hukum dan pendidikan. Seolah-olah ilmu agama itu tidak ada artinya ketika berhadapan dengan ilmu teknik. Bukankah ilmu pengetahuan itu nilainya sama bagi kepentingan sosial dan kemanusiaan. Saya takut, jika pendidikan kita terus menerus mengikuti irama pasar, satu saat ilmu-ilmu sosial dan keagamaan tak laku lagi. Lalu kehidupan kita yang terbentuk oleh marketisasi dan korporatisasi pendidikan terus-menerus diperkosa oleh kekuatan-kekuatan neokolonial kapitalis.

Ketiga, lunturnya budaya demokrasi sosial dan akuntabilitas publik. Penerimaan Cama melalui tes dan seleksi berjalur-jalur menunjukkan arogansi lembaga, eksploitasi kesenjangan pendidikan yang terjadi dalam masyarakat kita demi kepentingan sepihak. Seleksi dan tes melalui banyak jalur sengaja diciptakan untuk memperkuat efek pasar dan memicu respon psikologis berupa ketakutan, ketegangan, kecemasan, dengan tetap mengikat harapan kelulusan di kalangan para calon sehingga formulir pendaftaran laris manis dalam iklim persaingan yang semakin tajam. Tidak ada sedikitpun peluang di sini bagi para calon untuk menyuarakan aspirasi dan keluhannya. Model seleksi ini adalah perintah (order) sebagaimana dalam militer yang harus diikuti tanpa harus tahu mengapa semua itu harus dilakukan dan untuk siapa? Otoritarianisme kekuasaan dan budaya predator kini menjadi karakter lembaga-lembaga pendidikan kita.

Sistem penerimaan Cama Unsyiah juga tidak menganut transparansi dan akuntabilitas publik baik dari segi penggunaan dana maupun proses penentuan kelulusan. Sama dengan pengelolaan dana-dana publik lain yang mengalir ke Unsyiah, prosesi penerimaan Cama sangat tertutup, tidak ada akses publik untuk mengetahui kenapa dan bagaimana kebijakan ini dikelola dan dilaksanakan. Para calon hanya pasrah, publik pun bersikap pasif dan tak mau tahu. Praktik pendidikan dan kebijakan akademik yang dijalankan institusi pendidikan kita terutama pendidikan tinggi memang seolah lepas dari kontrol publik. Universitas, perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah seolah ingin menjauhkan diri dari akar sosialnya. Semuanya berubah menjadi sangat birokratis dan merasa tidak perlu bertanggungjawab kepada masyarakat. Padahal, bukankah lembaga-lembaga ini didirikan untuk kepentingan publik dan menghidupi dirinya dengan dana publik pula.

Keempat, menguatnya kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik. Pendidikan seharusnya menjadi media harmonisasi sosial dan pengembangan kehidupan yang adil sejahtera secara kolektif. Akan tetapi, model penerimana Cama secara berjalur telah mengkotak-kotakkan para calon menurut kemampuan itelektual (berbasis tes), keberuntungan, dan kemampuan ekonominya. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sosial. Praktik ini lambat tapi pasti akan memicu gap, kecemburuan, dan konflik sosial antar mahasiswa baik di dalam maupun di luar kampus. Kita bisa memprediksi emosi-emosi dan sikap-sikap apa kira-kira yang akan tumbuh dalam interaksi sosial antar mahasiswa yang lulus sekali tes ketika dengan yang lulus setelah beberapa kali ikut tes atau mahasiswa yang lulus karena kesanggupan membayar mahal. Begitu juga, kita dapat menerka kira-kira sikap-sikap sosial apa yang akan tumbuh dan berkembang di dalam diri mahasiswa akibat perlakuan lembaga pendidikan yang diskriminatif ini. Dampak lain adalah secara gradual institusi dan praktik pendidikan semakin dipengaruhi/dikuasai oleh kapital dan kapitalis. Orang-orang kaya dengan mudah dapat memilih bidang-bidang yang bernilai ekonomi tinggi atau mengakses pendidikan yang bermutu sementara yang miskin tidak memiliki banyak pilihan dan semakin kesulitan. Belajar dari kebijakan semester pendek, kita patut menduga bahwa tidak mustahil suatu saat orang-orang kaya dan penguasa bisa saja menyewa para profesor dan doktor untuk menguliahi anak-anak mereka dalam jangka waktu yang lebih singkat sehingga mendapatkan gelar-gelar akademik dalam tempo yang singkat pula. Jika ini terjadi, alih-alih pendidikan menjadi motor harmonisasi dan integrasi sosial, malah sebaliknya menjadi pemicu dan pendorong keberlangsungan disharmoni dan disintegrasi.

dikutip dari web resmi The Aceh Institute
http://www.acehinstitute.org

Comments :

0 komentar to “Ideologi Pasar dalam Pendidikan Aceh”


Posting Komentar