Rabu, 19 Agustus 2009

Kembalinya Tommy Soeharto

Nama Soeharto kembali menjadi pergunjingan, ketika Tommy Soeharto, putranya yang paling kontroversial, menyatakan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar periode 2009-2014. Kali ini, Tommy tidak menggunakan juru bicara, melainkan menyampaikan secara langsung. Sudah beberapa kali kabar itu ditulis oleh media massa, namun jarang yang disampaikan dalam kalimat langsung atau kutipan.


Saya sendiri mendengar kabar itu dari seorang kawan pada minggu lalu. Sebagai politisi Golkar yang baru setahun bergabung – serta lebih banyak mengurus pencalegan dan pilpres, ketimbang mengikuti ritme politik harian Partai Golkar --, saya menanggapi itu secara biasa saja. Yang terpenting adalah lanskap politik sudah sangat banyak berubah. Kejahatan Tommy juga sudah dihukum di Nusa Kambangan. Soeharto juga sudah meninggal dunia. Kalau ada orang yang pantas ditakuti saat ini, tentu bukan Soeharto, melainkan orang yang menggenggam kekuasaan terlalu besar.

Dari sisi bisnis, saya juga tidak tahu berapa aset yang dimiliki oleh Tommy. Apakah aset-aset itu bermasalah, tentu itu merupakan hak dari lembaga-lembaga yang dibentuk pasca-Orde Baru, yakni para pemburu aset yang dinilai merupakan bagian dari kekayaan negara. Apakah Tommy memilikinya, saya tidak tahu. Yang jelas, sebagai partai politik yang ditinggalkan oleh banyak tokoh-tokoh penting selama Orde Baru – lalu sebagian melompat ke partai lain, termasuk ke Partai Demokrat --, Partai Golkar kini menjadi sorotan. Ahmad Mubarak dari Partai Demokrat sendiri memprediksikan kalau partai ini hanya akan mendapatkan suara sebesar 2,5% dalam pemilu 9 April lalu. Kenyataannya, Partai Golkar memiliki kursi terbesar kedua di DPR RI.

Kalau anda mengatakan bahwa Orde Baru adalah sebuah sistem yang sempurna, maka Golkar bukanlah satu-satunya pihak yang selalu melindunginya. Kalau dibariskan dan dideretkan nama-nama orangnya, termasuk para ekonomnya, sebagian malah tetap mendapatkan tempat terhormat dalam rezim manapun. Begitupun, sebut saja nama seorang jenderal purnawirawan yang kini menduduki posisi manapun, entah di pemerintahan, bisnis atau politik, pastilah orang itu adalah bagian dari Orde Baru. Begitupula politisinya yang bukan generasi baru yang benar-benar hanya sekolah pada waktu Orde Baru, bisa dikatakan mereka bagian dari rezim itu.

Sepuluh tahun adalah waktu yang tepat untuk melihat lagi bagaimana kita menyebut sebuah nama, yakni nama Soeharto, serta kaitannya dengan nama anak-anaknya. Apa yang tetap, apa yang berubah. Siapa yang bersalah, lalu bagaimana kesalahan itu diperbaiki. Ketika Indonesia melepaskan diri dari Belanda, bukankah birokrasi yang dibentuk oleh Belanda itu juga yang mengendalikan Indonesia kemudian? Begitu juga dengan para tentaranya, bahkan juga pengusahanya. Jepang adalah pihak yang menyadari itu dengan membuat BPUPKI dan PPKI yang berasal dari elite-alite zamannya yang digabungkan dengan tkoh-tokoh pergerakan.

Konsolidasi merupakan hal yang paling baik, ketika sebuah rezim baru yang didambakan menjadi kenyataan. Tetapi yang terjadi adalah percerai-beraian. Ketika seseorang yang otentik dari pelaku sejarah reformasi memutuskan masuk ke dalam tubuh satu partai politik, maka yang terjadi adalah orang itu akan menemukan teman-temannya menjadi musuh-musuhnya, melebihi musuh bersama mereka. Kue kekuasaan terlalu lezat buat mereka, sehingga tujuan-tujuan awal menjadi terabaikan. Konsolidasi dari pelaku-pelaku yang otentik tidak benar-benar terjadi, mengingat para tokoh dari semua partai politik juga menjadi pelaku-pelaku otentik selama Orde Baru yang pernah dilawan.

Sehingga, pikiran realistik akan berkata: biarkan Tommy kembali ke habitat politik, yakni Partai Golkar. Tommy tidak akan lagi bisa mengandalkan siapapun, kecuali dirinya sendiri, pikiran-pikirannya, barangkali juga keuangannya. Para mantan ajudan Presiden Soeharto yang pernah menjaga Tommy waktu kecil juga sudah bertebaran di partai-partai lain. Orang-orang di Partai Golkar juga terdiri dari banyak nama yang baru sama sekali, terutama di lapisan generasi muda berusia di bawah 40 tahun. Nama-nama yang tidak dikenal oleh Tommy, tetapi tentu mengenal Tommy lewat pemberitaan media massa.

Sementara, pikiran idealistik menyatakan lain: hukuman paling pantas buat Tommy adalah hukuman sosial dan politik, yakni tidak lagi diterima di mana-mana. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan orang-orang dekat keluarga Cendana lainnya yang juga memberikan jalan bagi keluarga itu menjadi begitu kuat daya cengkeramnya ketika Soeharto berkuasa? Pikiran seperti ini hanya akan berguna kalau generasi yang memimpin hari ini benar-benar bersih seratus persen dari rezim Orde Baru. Kenyataannya tidak demikian. Presiden dan Wakil Presiden terpilih adalah dua tokoh yang berkarier cemerlang selama Orde Baru.

Jadi, biarkan Tommy Soeharto menjalani karmanya. Pengadilan juga tidak memberikan kepada Tommy hukuman untuk tidak memasuki partai politik. Tidak ada pengadilan seperti itu yang pernah digelar di Indonesia. Pengadilan HAM terberat sekalipun tidak ada yang menancapkan “orang-orang terlarang” bagi siapapun yang masuk partai politik. Orde Baru pernah melakukan kesalahan itu, ketika memberikan larangan tanpa batas tahun kepada orang-orang yang dituduh menjadi anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia. Karena itu adalah kesalahan, maka Indonesia tidak lagi menerapkannya, karena kalau diterapkan tidak ada perbedaan antara zaman kini dengan era Orde Baru.

Bagaimana dampak kembalinya Tommy Soeharto kepada Partai Golkar, tentulah menjadi diskusi yang berbeda sama sekali. Apakah akan terjadi pergolakan atau gejolak, bisa saja. Tidak semua orang dalam tubuh Partai Golkar menyukai kehadiran Tommy. Barangkali mereka berasal dari orang-orang yang dekat dengan keluarga Cendana selama Orde Baru. Yang jelas, jangan sampai Partai Golkar menjadi medan pertarungan kepentingan antara orang-orang yang dulu pernah begitu dekat, tetapi sekarang saling serang hanya untuk kepentingan eksistensialis diri masing-masing. Kalau ini yang terjadi, Partai Golkar tidak akan pernah menjadi partai besar, melainkan dikerdilkan oleh orang-orang yang sama.

Tommy barangkali tetap dipandang sebagai pemikul beban sejarah keluarga paling depan, dibandingkan dengan yang lain. Apakah beban Tommy akan menjadi beban Partai Golkar juga? Hampir setiap elite politik besar memiliki beban masa lalu sendiri-sendiri. Maka, dari sini, kehadiran Tommy harus dilihat dari agenda-agenda politik apa yang dia ajukan ketika kembali ke Partai Golkar, apalagi maju sebagai Calon Ketua Umum Partai Golkar Periode 2009-2014. Apabila kehadiran Tommy membawa agenda-agenda pribadi – dengan sendirinya --, maka masyarakat akan langsung menciumnya. Sebaliknya, ketika Tommy membawa agenda-agenda yang lebih mendasar bagi kepentingan bangsa dan negara, tentu ia berhak untuk itu. Negara ini telah memberi dua pelajaran mahal buat Tommy, yakni sebagai Pangeran Cendana dan sebagai Narapidana Nusa Kambangan. Tidak semua orang bisa mengalami dua fase yang saling dikotomis itu.

Tommy harus dilihat lebih dari dua sisi, yakni sisi baik dan sisi buruk, bahkan sisi buruk yang menyimpan kebaikan dan sisi baik yang menyimpan keburukan. Yang jelas, siapapun akan menunggu apapun yang dilakukan Tommy dalam hari-hari mendatang. Apakah ia memang si pemagang kunci Cendana? Atau ia hanyalah seorang anak bangsa yang menggunakan jalan politik agar tidak lagi menjadi bahan gunjingan laksana ada dan tiada, dianalisis seperti hantu yang gentayangan, bahkan ketika ia hanya diam tidak melakukan apa-apa. Mari kita lihat episode selanjutnya dari cerita yang mungkin akan panjang ini.

Oleh
Indra Jaya Piliang
Dewan Penasehat The Indonesian Institute

Comments :

0 komentar to “Kembalinya Tommy Soeharto”


Posting Komentar