Rabu, 05 Agustus 2009

Saatnya untuk "Bunuh Diri"

Terlampau sulit untuk mencintai tanah pusaka ini. Terlalu banyak tenaga yang mesti dikuras. Terlalu besar pengorbanan yang harus diberi. Itu apabila cinta tanah air bermakna: berbuat segala sesuatu yang diyakini perlu untuk kebaikan negeri tanpa pamrih; tak ada gaji tinggi, tak ada sanjung puji.

Sulit, karena tidak ada yang menuntut Anda untuk cinta mati kepada negeri ini seperti demikian. Banyak orang menginginkan Anda untuk hidup sebagaimana yang lain, berenang mengikuti arus, sama-sama mengabdikan diri kepada mitos modern berjuluk materialisme; pandangan-pandangan yang menjadikan kebendaan sebagai ukuran dan patron nilai.

Tak banyak, bahkan mungkin tak ada, yang menantikan seorang hero atau pahlawan. Untuk waktu sekarang, dengan keadaan yang katanya sudah kondusif, pahlawan tidak dibutuhkan. Pahlawan hanya perlu untuk dikenang setiap apel Senin. Berlainan dengan waktu prahara mengguncang tanah ini. Ketika ketakutan mencekam setiap batin. Banyak orang berharap Anda bersedia mati untuk melindungi mereka, membela kepentingan mereka. Itu dulu, ketika kaca mobil bersedia diturunkan untuk mengucap salam bagi orang rendahan yang sering dijadikan perisai. Sekarang sudah waktunya untuk hidup masing-masing, "mandiri"! Ya, bukankah setiap orang harus hidup mandiri?!

Saya teringat sebuah fragmen dari roman sejarah karya Najib Al-Kilani, "Layaliy Turkistan" (Malam-malam Turkishtan). Seorang pengawal jatuh hatinya kepada salah seorang dayang-dayang dalam istana Khuwarizmi Syah. Ia memberanikan diri untuk mengutarakan perasaannya itu kepada si gadis. Sayang, cintanya ditolak. Tak berapa lama kemudian bangsa Tatar (Mongol) menyerang kerajaan. Si gadis berubah pikiran, ia sekarang butuh pelindung. Ia pergi menjumpai pengawal, menyatakan bahwa ia telah menerima cintanya. Namun pengawal menjawab, "Duhai dinda, kedatanganmu sudah sangat terlambat. Tak ada lagi waktuku untuk itu. Seluruh pikiranku sekarang terkuras untuk persoalan membela negeri ini!"

Zaman pahlawan, zaman ketulusan, zaman pengorbanan hanya karena sebuah cinta yang dipersembahkan untuk tanah air, agaknya telah berlalu. Pahlawan "out of range". Pahlawan kata-kata yang sudah usang; tersimpan dalam kamus bahasa hanya sebagai sejarah. Tak pernah terdengar ada orang bercita-cita ingin jadi pahlawan. Kata-kata itu sendiri sekarang malah terdengar seperti suatu yang menggelikan, dan sering disambut dengan cibiran cemooh.

Istri Anda akan langsung minta cerai jika Anda mau jadi pahlawan. Anda bisa-bisa dikutuk dengan nama tujuh daratan tujuh lautan kalau pulang ke rumah dan bilang: saya hari ini bekerja untuk bangsa, tak ada keping emas yang bisa saya bawa pulang! Anda akan dituduh laki-laki tidak bertanggung jawab apabila Anda mendidik anak-anak Anda untuk menjadi pahlawan, melatih mereka jalan-jalan pengabdian kepada bangsa di berbagai bidang kehidupan.

Ketika itu, apa yang harus dilakukan? Pilihan paling "selamat" sekaligus amat menyakitkan ialah "bunuh diri". Meretakkan cinta Anda kepada tanah air sampai berkeping. Membumihanguskan seluruh pikiran dan kepedulian Anda kepada negeri sampai tak tinggal bekas. Lalu hidup dengan sikap penuh egois sejauh Anda bisa. Suatu hari kemudian, Anda berdiri di depan cermin dan tak lagi menemukan diri Anda di sana. Yang tampak cuma bayangan dari wujud yang semu. Anda tidak lagi seorang pahlawan seperti yang Anda inginkan. Anda tidak lebih dari buruh upahan, bekerja apabila gaji cocok, mencari posisi apabila pendapatan tinggi. Anda adalah …! Wujud yang sulit didefinisikan.

Ibnu Bathuthah dalam laporan perjalanannya ke Sumuththrah (Samudra/Sumatera) menyebutkan bahwa Sultan Al-Malik Azh-Zhahir gemar berjihad di jalan Allah. Penduduk Samudra mengikutinya, dan dengan suka rela.

Tidak ada yang terasa berat dari penuturan Ibnu Bathuthah tentang pendahulu negeri ini selain pernyataan bahwa mereka melakukan itu dengan suka rela. Tidak ada kepastian untung rugi dalam jihad tapi mengapa mereka melakukannya dengan suka rela? Ada apa dengan mereka? Mengapa hari ini beberapa butir keringat untuk negeri selalu ada tarif harganya, bahkan tanpa keringat pun ada harganya? Semoga Tuhan memaafkan Ibnu Bathuthah karena telah menyebut kata-kata "suka rela"!

Sudahlah Ibnu Bathuthah. Mungkin penjelajah muslim yang laporannya selalu dijadikan rujukan oleh para ahli sejarah, telah salah ingat. Tapi bagaimana halnya dengan Nabi saw dan para sahabatnya, yakni mereka yang mungkin tidak termasuk orang-orang yang kita kenang di setiap apel Senin.

Apa yang mereka cari dari seluruh gerak budaya dan peradaban rabbaniy yang mereka lakukan dalam seluruh umur hidup mereka di dalam Islam?

Mengapa mereka begitu tenteram dalam beban-beban kepahlawanan yang mereka tanggung?

Barangkali karena mereka Nabi dan para sahabatnya sementara kita bukan. Dan mungkin lagi pernyataan kita bahwa mereka adalah ikutan dan teladan kita, sesungguhnya tidak lebih dari sekadar pemanis kata, tidak sebenar-benarnya. Mungkin kita hanya takut dicap murtad kalau kita mengungkapkan yang sebenarnya lalu jenazah kita nanti tidak dilayat seperti layaknya. Jadi, kita hanya mengambil yang enteng-enteng saja dari syari'at Tuhan, hal-hal yang tidak begitu mengganggu kesenangan dan kemewahan hidup kita di dunia, lalu mencampakkan selain itu di belakang kita seperti yang dilakukan Bani Israil. Bila dibutuhkan alasan atas sikap demikian, maka jawaban populer sudah tersedia: perilaku Nabi dan para sahabat beliau sudah tidak relevan lagi dengan zaman ini!

Enaknya, memang, kita hidup dalam kepalsuan. Hidup dalam diri yang telah kita bunuh sendiri, dan berusaha semampu mungkin untuk berada berjauhan dari pandangan-pandangan hidup pahlawan. Sebab, hidupnya tidak seenak orang yang hidup dalam kematian diri. Pahlawan tentu lebih sering dikunjungi pedih dan lara, dan sudah sangat jarang orang yang siap untuk itu dalam "kondisi kondusif" seperti sekarang ini!

Keberuntungan yang diperoleh pahlawan pun tidak menggiurkan lantaran keberuntungan itu cuma pada pahlawan telah berhasil menemukan visi hidupnya yang hakiki; hidup dalam cita-cita kehidupan yang asli: meraih kemenangan di hari akhir di mana kehidupan yang sebenarnya berada. "Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." (Al-'Ankabut: 64).

Boleh saja semua orang mencemoohkan keberuntungan yang diperolehnya itu sebagai sebuah kekonyolan, tapi bagi dirinya, keberuntungan tersebut telah memberikannya dorongan kuat untuk senantiasa berhubungan dengan Zat Penguasa sekalian alam; memberikannya kekuatan untuk terus berbuat kebaikan; memberikannya ketentraman batin yang tak terlukiskan; dan juga memberikannya suatu kepuasan sebab ikrar yang pernah diulang-ulangnya sejak waktu kecil dulu untuk dapat berguna bagi bangsa dan agama mampu ia pertahankan, tak luntur seiring waktu, dan telah ia laksanakan sejauh kemampuannya.

Keberuntungan memperoleh visi tersebut telah menjadikannya hidup, dan cuma dia yang menikmati hidup sebab tak ada kehidupan pada jiwa yang mati; jiwa yang telah dibunuh sendiri oleh pemiliknya.

Comments :

0 komentar to “Saatnya untuk "Bunuh Diri"”


Posting Komentar