Kamis, 06 Agustus 2009

Kemiskinan Akibat Kesesatan Pembangunan

Sedih rasanya membaca berita-berita di media cetak yang menceritakan tentang kemiskinan di Aceh. Kemiskinan seakan sudah menjadi ”virus” mematikan yang suatu waktu bisa menyerang dan menimbulkan korban siapa saja dan kapan saja, seperti virus H1N1 yang sedang hangat dibicarakan seantero dunia ini.
Aceh katanya cukup kaya. Kekayaan alamnya melimpah ruah, mutiara terbaik di negeri khatulistiwa. Namun, kini semuanya begitu mahal. Jangankan untuk kesempatan bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi, untuk makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja, kita harus bekerja membanting tulang siang malam, merampok dan menculik.

Kemiskinan di Aceh saat ini masih tinggi. Berdasarkan data yang dikeluarkan BPS mencapai 959,7 ribu jiwa atau 23,53 persen dari jumlah penduduknya. Jika dicermati umumnya adalah kemiskinan struktural yang terjadi karena kebijakan pembangunan dari penguasa (eksekutif maupun legislatif) yang sesat sehingga gagal mengontrol harga kebutuhan dasar rakyat yang meroket dan tidak terjangkau lagi serta berbagai penggusuran terhadap pedagang pasar/kaki lima dan pembebasan tanah tanpa atau ganti rugi yang layak diikuti pembakaran dengan dalih bagi kepentingan umum.

Lihat saja, Nurjannah, bayi perempuan berusia sembilan bulan penderita gizi buruk asal Desa Blang Dalam, Kecamatan Makmur, Bireuen terbaring tak berdaya di RSU Fauziah Bireuen beberapa waktu lalu. Kasus Nurjannah salah satu fakta diantara bayi penderita gizi buruk lainnya.Berdasarkan pengamatan fakta, gizi buruk terjadi bukan saja karena minimnya fasilitas pelayanan kesehatan atau faktor orang tua yang mempertahankan makanan etnik sebagai identitas kultur kebudayaan yang kemudian dijadikan sebagai makanan pokok sehari-hari, melainkan lebih dominan disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi keluarga.

Berikutnya, perampokan bersenjata dan penculikan yang terus terulang. Terakhir, Bank Rakyat Indonesia (BRI) unit Kuta Blang Bireuen dirampok empat pria bersenjata, Selasa (12/5) sekitar pukul 13.40 WIB dan Suryadi, 33 tahun, penjaga alat berat milik PT. Gasni Halim di Desa Alue Keurinyai, Kecamatan Nisam, Aceh Utara diculik sekomplotan bersenjata api, Senin (11/5) sekitar pukul 18.00 WIB. Terlepas apa motifnya, namun yang pasti BRI mengalami kerugian uang sebesar Rp58 juta dan Suryadi diminta tebusan uang sebesar Rp70 Juta. Sangkaan awal, peristiwa ini dapat dikatakan motifnya ekonomi, meskipun nanti hasil pengembangan penyidikan lain.

Dikaitkan dengan pendapat para kriminolog ternyata benar, yakni ekonomi salah satu faktor timbulnya kejahatan. Krisis keuangan global, tekanan ekonomi karena Pemutusan Hubungan kerja (PHK) dan lapangan kerja sempit, menjadikan kemiskinan begitu dekat dengan keluarga yang ekonominya tidak menentu yang akhirnya memunculkan peluang tindak kejahatan.Sesuai tujuan pembangunan, semestinya upaya yang dilakukan ditujukan untuk mengatasi atau paling tidak mengurangi semua bentuk dan dimensi penderitaan manusiawi, terutama bagi kaum jelata yang miskin papa dan menderita. Sehingga yang namanya kesejahteraan tercapai.

Hal ini penting karena antara pembangunan dengan kesejahteraan saling memperkuat atau sering didefinisikan sebagai hubungan mutual re-enforcing. Kemajuan pembangunan akan memperkuat kesejahteraan. kesejahteraan akan memperkuat pembangunan. Sebaliknya, kemunduran kesejahteraan akan mempersulit pemajuan pembangunan dan pada gilirannya memerosotkan kesejahteraan itu sendiri. Bagian ini luput dari perhatian. Meskipun berulang kali dikritik dan dilawan, tetap saja terjadi.

Pembangunan selama ini sangat jauh dari tujuannya. Karena dalam pelaksanaan cenderung untuk kesejahteraan pribadi penguasa, beberapa orang, golongan dan atau kelompok tertentu. Semula untuk ketertiban dan kepentingan umum, lama kelamaan tampak motif ekonominya. Keberadaan gedung-gedung mewah dan lahan untuk perusahaan lebih diutamakan ketimbang sumber perekonomian rakyat. Memberi lahan untuk perkebunan perusahaan menjadi pilihan ketimbang memberi ruang yang patut bagi petani. Ringkasnya ”kepemilikan” kini menjadi jauh lebih berwatak privat ketimbang publik.

Tanah sebagai modal mengail rezeki harus diserahkan begitu saja tanpa ganti rugi yang layak. Ada yang layak, tetapi “disunat” oleh pihak-pihak yang tamak akan kekayaan. Ketidakadilan struktural ini membuat tanah tidak terganti karena harganya tidak terjangkau dengan jumlah ganti rugi yang diterima. Itulah hal yang kemudian menghilangkan lapangan kerja sehingga sebagian rakyat Aceh tertinggal dalam menikmati kesejahteraan hidup, alias miskin. Penggusuran dan perampasan tanah sudah menjadi keterampilan penguasa dan perusahaan. Bahkan, tidak jarang keterampilan tersebut berbuah konflik berkepanjangan yang tidak kunjung selesai.

Perhatikan saja beberapa wilayah, terutama di wilayah kabupaten pemekaran. Pembebasan tanah kerap memunculkan persoalan yang bermuara pada bentuk dan atau jumlah ganti rugi. Seperti, pembangunan gedung pemerintahan di Suka Makmur, kabupaten Nagan Raya, pembangunan kompi Brimob di Trumon Timur, Kabupaten Aceh Selatan, pembangunan pelebaran bandara Kuala Batu (diikuti dengan pembakaran rumah dan warung pemilik), Kabupaten Aceh Barat Daya, pembangunan Kompi TNI, di Geumpang, Pidie dan pembangunan rumah sakit bantuan Korea di Muara Satu, Kota Lhokseumawe.

Selanjutnya, kasus PT Ubertraco di Kemukiman Pemuka, Kecamatan Singkil, Aceh Singkil merampas lahan masyarakat di 24 Desa di 5 Kecamatan dan PT Runding Nusantara (RN) di Desa Panji, Kecamatan Longkib, Kota Subulussalam yang berujung pembakaran dan penahanan 23 masyarakat Panji. Semestinya, pembinaan kepada petani yang harus dilakukan, membentuk kelompok tani, membuka areal perkebunan dan memfasilitasi untuk mendapatkan bibit unggul atau benih berkualitas, membantu pembukaan lahan serta membantu memasarkan hasil.

Aceh tidak beda saat orde baru, era reformasi telah menampakkan wajah brutal penguasa yang sewenang-wenang melukai rakyatnya sendiri yang miskin dan menderita. Mereka hanya dijadikan ”tumbal” pembangunan dan menerima polusi yang mematikan sebagai hadiah. Itulah satu aspek mengerikan yang diwariskan rezim orde baru dan disempurnakan era reformasi secara sadis dan ironis.

Ironi itu semakin jelas, kasus ratusan warga di Desa Blang Panyang, Kecamatan Muara II, Kota Lhokseumawe yang diduga keracunan gas yang dibawa angin dari Kilang LNG Arun, hingga hari ini belum ada pihak yang bertanggung jawab. Penguasa dan perusahaan masih diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bersikap tegas. Padahal, bukan sekarang saja hal serupa terjadi, masa daerah operasi militer (DOM) juga pernah terjadi beberapa kali. Sebenarnya hal-hal yang menyebabkan kemiskinan struktural dapat diantisipasi dan diselesaikan. Keahlian bukan menjadi kendala. Sebab, keahlian untuk itu dimiliki. Tetapi yang menjadi kendala, keberanian bersikap yang tidak dimiliki. Memang selama ini ada keberanian, tetapi keberaniannya terfokus kepada kebijakan pemiskinan.

Hilangnya keberanian penguasa disebabkan oleh kesalahpahaman tentang reformasi. Mereka hanya memahami reformasi secara semu ”Harmoni palsu”. Harmoni adalah massa mengambang. Akibatnya pemulihan ekonomi masih jauh dari harapan karena kedaulatan ekonomi sudah digadaikan kepada kaum kapitalis terutama di bidang pertambangan dan perkebunan. Rakyat tidak boleh kritis. Kritis identik dengan subversif! Melawan penguasa. Dosa terhadap negara. Maklum hal ini terjadi, legislatif saja diisi oleh sebagian tokoh-tokoh reformasi gadungan.

Sekarang saatnya melakukan perubahan secara total dan menyeluruh setelah puluhan tahun hidup di antara celah-celah kebijakan pemiskinan. Ekonomi kerakyatan sesegera mungkin digagas. Harapan ini begitu besar dan rakyat Aceh mempercayai Partai Aceh (PA) dan Demokrat sebagai tempat.

Di matanya, selain memiliki sejarah yang baik, tokoh-tokoh di kedua partai tersebut juga dirasa begitu dekat dengan ”keringat” rakyat. PA yang terdiri dari mantan kombatan, masa konflik sangat lantang melakukan perlawanan ketidakadilan pemerintah pusat. Sedangkan demokrat, terdiri dari orang-orang yang memiliki rasa tulus yang berwujud kasih sayang pada sesama manusia dan rakyat (help delinquent and love humanity) sehingga mampu menyelesaikan permasalahan konflik melalui perdamaian. Kemudian hal ini yang membuat mereka begitu dikenal.

Atas dasar itu, anggapan langkah tepat ”menikahkan” kedua partai tersebut berkuasa untuk memulai perubahan jangan dikhianati. Jika terjadi, maka bersiaplah untuk digugat di kemudian hari. legislatif baru harus benar-benar membuktikan kedekatannya dengan keringat rakyat. Ketika mengucur keluar, baunya itu tercium sehingga agenda pro rakyat langsung dirumuskan.

Selain itu, legislatif baru juga harus mempelajari kesalahan-kesalahan pendahulunya. Resistensi keberanian melawan ketidakadilan masa konflik jangan kendor ketika sudah berkuasa. Bukan tidak mungkin legislatif baru terjebak dengan cara-cara demikian. Sebab di sana telah lama bekerja sebuah sistem yang bisa menjerat siapa saja yang duduk di dalamnya. Bekerja bukan untuk membawa suara rakyat melainkan mengatasnamakan rakyat bagi terfasilitasi kepentingannya dan segelintir orang.

Akhirnya, kepada legislatif baru beserta eksekutif dapat melakukan beberapa hal, agar kemiskinan tidak sulit ditembus dan kesejahteraan tidak lagi menjadi barang mewah, yakni; Pertama, hubungan kekuasaan jangan menghilangkan kemampuan rakyat untuk memutuskan masalah yang menjadi perhatian mereka, akses komunikasi demi terselenggaranya musyawarah untuk mufakat dibuka seluas-luasnya dan jangan terbuai dengan study banding keluar daerah atau keluar negeri sehingga persoalan sosial tidak terselesaikan.

Kedua, memberi peluang memperoleh alat-alat produksi (lahan dan teknologi) dan sumber daya (pendidikan dan akses pasar) kepada mayoritas rakyat; Ketiga, membentuk mekanisme yang memadai untuk akumulasi pembangunan dan distribusi agar merata; Keempat, melakukan integrasi ekonomi nasional, yang berorientasi memenuhi pasar domestik daripada pasar asing; Kelima, mendorong peningkatan peran pemerintah sebagai perantara dalam meminimalkan ketimpangan sosial;

Keenam, membatasi eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan dan menanggulangi pencemaran ekosistem secara proporsional sehingga tidak berdampak kepada orang miskin; dan
Ketujuh, menjauhkan kebijakan-kebijakan yang menyebabkan monopolisasi ekonomi dan polarisasi rakyat, yang memacu bertambahnya penumpukan pendapatan dan kesejahteraan bagi segelintir orang.

Hal-hal ini memang bukan mantera atau petuah yang ampuh, melainkan bagian dari tawaran strategi yang disesuaikan mengikuti kondisi Aceh saat ini. Semoga saja saya salah. Dengan demikian sejak dari sekarang saya mohon maaf dan tidak menunggu dipersalahkan baru kemudian meminta maaf. Terima kasih.

Comments :

0 komentar to “Kemiskinan Akibat Kesesatan Pembangunan”


Posting Komentar