Rabu, 26 Agustus 2009

Sembilan Potensi Kekeliruan Yudhoyono


Adab berdemokrasi meminta siapa pun untuk siap menerima kemenangan dan kekalahan. Keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak semua gugatan pasangan Megawati SoekarnoputriPrabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto menandai usainya sengketa hasil Pemilihan Umum Presiden 2009. Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pun resmi menjadi pemenang

Demikian Eep Saefulloh Fatah, pengajar Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia, dalam kolom Analisis Politik Koran Kompas, hari ini ( 18/8) memulai artikelnya.Maka, siapa pun, termasuk kita, selayaknya mengakui Yudhoyono-Boediono sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Lalu, siapa pun hendaknya mulai mengoptimalkan ikhtiar untuk menyokong perbaikan Indonesia selama lima tahun ke depan dengan cara masing-masing, dari dalam maupun dari luar kekuasaan pemerintahan baru.

Izinkan saya memulai ikhtiar itu dengan mengingatkan Yudhoyono akan sembilan potensi kekeliruan yang bisa dilakukannya sebagai presiden periode 2009-2014.
Tiga potensi kekeliruan pertama berpotensi dibentuk oleh sikap akomodatif Yudhoyono yang berlebihan. Pertama, mengakomodasi semua (23) partai peserta resmi koalisi penyokongnya ke dalam kabinet dan/atau pos-pos pemerintahan lainnya. Akomodasi semacam ini ditandai oleh berlebihannya jumlah dan proporsi wakil partai sambil terabaikannya kompetensi mereka.

Kedua, mengakomodasi berlebihan wakil lima partai utama peserta koalisi ke dalam kabinet dan pos-pos kantor eksekutif Presiden. Hal ini berpotensi membatasi kemungkinan terbentuknya kabinet yang kompeten, profesional, dan punya integritas.
Ketiga, tergoda memperluas dukungan dalam legislatif dengan menarik masuk Partai Golkar ke barisan pendukung pemerintahan melalui Munas Partai Golkar dan/atau PDI-P melalui pertukaran kepentingan politik jangka pendek. Alhasil, SBY-Boediono akan tersokong oleh koalisi tambun berkekuatan di atas 70 persen kursi legislatif.
Namun, sebagaimana terbukti sepanjang masa pemerintahan Yudhoyono-Kalla, koalisi tambun itu akan sulit didisiplinkan. Resistensi dan perlawanan dari lembaga legislatif akan datang dari partai-partai penyokong pemerintahan. Alih-alih koalisi semacam ini, Yudhoyono lebih butuh koalisi berkekuatan cukup (koalisi lima partai dalam pemilu presiden yang baru lalu) yang disiplin.

Tiga potensi kekeliruan berikutnya dibentuk oleh cenderung lemahnya kepemimpinan Yudhoyono. Pertama, menjalankan politik balas budi secara berlebihan sebagaimana terlihat sejak 2004. Politik balas budi berlebihan telah terbukti meningkatkan kerepotan selama lima tahun terakhir.
Kedua, tak bersikap tegas terhadap kasus-kasus konflik kepentingan dalam pemerintahannya sehingga membatasi efektivitas manajemen pemerintahan dan kebijakan. Contoh terbaik soal ini adalah berlarut-larutnya penyelesaian lumpur di Sidoarjo.
Ketiga, mengelola pemerintahan yang terlampau hati-hati, lamban, dan konservatif.

Jangan lupa, SBY-Boediono cenderung satu karakter, tidak saling komplementer sebagaimana SBY-Kalla. Keduanya berpotensi menjadi rem (bukan rem dan gas) dan memfasilitasi terbentuknya pemerintahan yang kurang sigap.
Tiga potensi kekeliruan terakhir dihasilkan oleh keterbatasan kemampuan Yudhoyono berhadapan dengan tarikan-tarikan politik di sekitarnya. Pertama, terjerat oleh target pemeliharaan dan pembesaran postur politik Partai Demokrat dalam Pemilu 2014.
Berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009, dalam Pemilu 2014 Partai Demokrat tak lagi bisa mengandalkan Yudhoyono sebagai kandidat presiden sekaligus ikon dan produk utama pemasaran politik mereka. Jelas ini ujian besar mengingat besarnya ketergantungan partai ini pada figurnya.

Secara teoretis, Yudhoyono berpotensi menjalani termin kedua kekuasaan dengan leluasa tanpa gangguan target 2014. Namun, dalam praktiknya, ia bisa terjerat kecemasannya sendiri akan beratnya tantangan kontestasi 2014 bagi Partai Demokrat. Beban ini berpotensi menjebak dan membatasi ruang manuver Yudhoyono.
Kedua, memelihara sensitivitas dan percaya diri berlebihan. Penguasa mana pun butuh sensitivitas dan percaya diri, tetapi yang proporsional, bukan yang berlebihan. Lonjakan dramatis dukungan bagi Partai Demokrat dan kemenangan besar Yudhoyono dalam pemilu presiden berpotensi membentuk surplus sensitivitas dan percaya diri.
Satu bukti sudah terhidang: pidato Yudhoyono yang kurang patut segera setelah meledaknya bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton tengah Juli lalu.

Lantaran surplus itu, alih-alih memberi empati yang layak bagi korban dan mengakui kelemahan intelijen dalam mengantisipasi dan mencegah serangan teroris, Yudhoyono banyak menghabiskan isi pidatonya untuk meminta empati dan simpati publik bagi dirinya serta (secara implisit) memberikan apresiasi kepada aparat intelijennya.
Ketiga, lalai mengantisipasi ancaman politik serius di pengujung pemerintahannya kelak. Karena wakil presiden tak berpartai, dalam lima tahun ke depan Yudhoyono tak memiliki “partai kedua” (setelah Demokrat) yang loyal-penuh pada pemerintahannya.
Selama 2008-2009, di tengah meningkatnya serangan partai-partai (termasuk partai penyokong pemerintah) terhadap kebijakan pemerintah, Yudhoyono masih punya Partai Golkar yang menjaga pemerintahan sampai akhir. Sebab, Golkar tak mau mengorbankan Kalla, sang ketua umum mereka. Nanti, 2013-2014, karena Boediono tak berpartai, Yudhoyono tak lagi memiliki kemewahan serupa. Jadilah ini sebagai periode paling krusial dalam termin kedua Yudhoyono. Lalai mengantisipasinya adalah sebuah kekeliruan serius.

Akhirulkalam, saya tak memendam niat busuk di balik kolom ini. Saya sekadar menjalankan fungsi konstitusional sebagai warga negara, sambil berharap Yudhoyono mampu berkelit menghindari sembilan jebakan di atas. Selamat bekerja! (irib.ir, 18/8/2009)

Oleh
Wahyu Ihsan
Ketua Bidang Prndidikan dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
PP IMAPA Jakarta

Comments :

0 komentar to “Sembilan Potensi Kekeliruan Yudhoyono”


Posting Komentar