Senin, 20 Juli 2009

ada Grand Strategy AS dibalik konferensi pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

Berikut pandangan menarik pengamat intelejen AC Manullang yang dimuat dalam koran Seputar Indonesia hari ini tentang serangan bom di Jakarta kemaren..

Katanya: "ini adalah pengeboman yang menggunakan pemicu/pengontrol dari jarak jauh (remote controlled bombing)." Ini juga terkait Kapitalisme. Katanya: "ada dalam grand strategy global Amerika Serikat (AS) yang mengusung neoliberalisme dan neokapitalisme.Keduanya memiliki masalah dengan Islam yang kuat di Indonesia. Analisis kita harus ditarik ke ranah itu." Ia menegaskan Islam bukan teroris. Katanya: "sebenarnya Islam sendiri tak pernah menjadi teroris.Namun teroris inilah yang memanfaatkannya untuk perjuangan mereka.Perlu kita ingat, bukan hanya Islam yang dimanfaatkan, tetapi juga isu-isu lain seperti isu kelaparan, kemiskinan, dan isu apa pun yang bisa dijadikan alat melawan penguasa. Namun, target utamanya neoliberalisme dan neokapitalisme itu."

Salam,
HM

Bom,Terorisme dan Operasi Intelijen


Saturday, 18 July 2009 - Seputar Indonesia
Oleh AC Manulang

Setelah meledaknya bom di Hotel JW Marriot dan The Ritz-Carlton, isu pun simpang siur. Kekhawatiran masyarakat kembali memuncak dan rasa tidak aman kembali menyelimuti.

Sayangnya bukannya fokus menyelesaikannya, malah isu ini digiring melebar ke isu politik. Kasus ini memang sudah selayaknya untuk dibahas dari sudut pandang intelijen. Maka itu, saya sebagai pengamat intelijen akan berbicara berdasarkan data-data intelijen.

Ketika kemarin saya menonton konferensi pers yang digelar oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Istana, tampak dia menggelar data-data intelijen dalam omongannya serta beberapa foto. Perlu dipahami, untuk membaca kasus terorisme tak bisa sepotong- sepotong.Untuk itu,dalam memandangnya, kita harus melihatnya dalam suatu konteks.

Kejadian seperti peledakan ini merupakan bagian dari rangkaian. Yang terjadi sekarang ini merupakan bagian dari kejadian-kejadian sebelumnya seperti penangkapan tersangka teroris di Palembang, Cilacap, dan lainnya, yang menariknya berdekatan dengan HUT Polri.Peristiwa yang sekarang juga merupakan indikasi bahwa gangguan keamanan akan terjadi lagi.

Nah, tentu timbul pertanyaan dari masyarakat dan dari pengamat intelijen, yaitu mengapa peristiwa ini tidak bisa di-counteratau didahului dengan pencegahan sehingga peristiwa yang memilukan ini tidak perlu terjadi? Menurut saya intelijen wajib memperkirakan indikasi yang ada. Mereka memang seyogianya sudah tahu faktor-faktor yang memengaruhinya.

Saya pun sudah menerbitkan buku berjudul Terorisme dan Pan Intelijen. Setelah buku itu diterbitkan, dari tahun 2006 sampai 2008,setahu saya tidak lagi ada aksi terorisme. Dalam buku itu saya tuliskan bahwa mereka sama-sama tahu aktivitas masing-masing.Teroris tahu kerja intelijen, begitu juga sebaliknya intelijen sebenarnya sudah tahu apa kerja para teroris. Jadi, dalam konteks ini memang bisa dikatakan bahwa intelijen kita kecolongan.

*** Dalam peristiwa ini, menurut saya, ada beberapa pendapat yang malah bisa menyesatkan. Dalam beberapa keterangan secara terburu-buru––baik dari Presiden, Menko Polhukam,Kapolri maupun yang lainnya––dikatakan bahwa bom ini adalah bom bunuh diri.

Ini adalah kesimpulan yang terburuburu, karena masih butuh penyelidikan lebih jauh. Teroris pun pasti belajar dan makin canggih dari aksi sebelumnya. Menurut perkiraan saya,ini adalah pengeboman yang menggunakan pemicu/pengontrol dari jarak jauh (remote controlled bombing).

Kemungkinan ini masih terbuka lebar karena penyelidikan masih pada tahap awal. Penyesatan lainnya,dalam konferensi persnya Presiden mengindikasikan bahwa dia sudah tahu siapa pelaku pengeboman dan siapa di baliknya (man behind the gun).

Bahkan dia pun menyatakan telah menerima laporan intelijen sembari mengatakan bahwa ada latihan menembak di suatu tempat yang menggunakan foto SBY sebagai target latihan. Ini dipahami Presiden dan para pembantunya sebagai ancaman fisik. Secara intelijen, memaparkan fakta beserta foto-foto seperti itu adalah satu kesalahan.

Kalau memang benar ada gerakan itu, seharusnya Presiden segera memerintahkan aparat keamanan untuk menindaknya karena itu bukan tugas intelijen lagi. Saya sendiri baru pertama kali ini melihat ada Presiden yang bersumpah akan menindak tegas siapa pun yang menjadi pelaku terorisme, tetapi tidak bersumpah akan menindak keras pihak yang dianggapnya akan memberi ancaman fisik kepadanya.

Dalam intelijen dikenal istilah deception operation (operasi penyesatan). Operasi ini digunakan untuk menyesatkan gerakan tujuan target operasi intelijen agar mereka tidak waspada. Namun, jangan sampai deception operationini malah mengarah pada kelompok tertentu,umpamanya pesaing-pesaing yang kalah dalam pilpres.

Mereka itu bisa saja jadi marah dan situasi menjadi kian tidak kondusif. Ini setidaknya terjawab dengan konferensi pers yang dilakukan Prabowo yang menangkal arah isu yang seperti mengarah kepadanya. Kondisi ini malah bisa dimanfaatkan oleh teroris. Ingat bahwa kita ini hidup di era globalisasi.

Kita ada dalam grand strategy global Amerika Serikat (AS) yang mengusung neoliberalisme dan neokapitalisme.Keduanya memiliki masalah dengan Islam yang kuat di Indonesia. Analisis kita harus ditarik ke ranah itu. Lalu,kenapa terorisme ini semakin menjadi-jadi? Bukan tidak mungkin (ada keterkaitan demikian) karena negara kita ini berada di negara kaya dan menjadi rebutan negara lain.

Arah intelijen asing itu tak lain tak bukan adalah untuk kepentingan negara asalnya. Maka itu ada perang intelijen. Bukannya kita menuduh mereka––bahkan kita harus banyak belajar dari mereka––, tetapi ini harus dimasukkan dalam perhitungan.

Sementara itu, sebenarnya Islam sendiri tak pernah menjadi teroris.Namun teroris inilah yang memanfaatkannya untuk perjuangan mereka.Perlu kita ingat, bukan hanya Islam yang dimanfaatkan, tetapi juga isu-isu lain seperti isu kelaparan, kemiskinan, dan isu apa pun yang bisa dijadikan alat melawan penguasa. Namun, target utamanya neoliberalisme dan neokapitalisme itu.

*** Intelijen itu bukan kepentingan politik pihak tertentu. Fokus utama intelijen adalah kepentingan negara dan target yang harus dicapai dalam kerangka kepentingan negara,bukan kepentingan perseorangan. Jangan sampai memakai intelijen untuk menuduh satu kelompok.

Kita seharusnya bersama-sama untuk tegas melawan terorisme dan kekerasan di negeri ini. Satu hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam intelijen itu bukan hanya ada penangkapan, pencidukan, apalagi pemberangusan. Operasi intelijen itu harus terdiri atas penelitian, pengamanan, dan penggalangan.Nah, penggalangan inilah yang tak berjalan bagus.

Sementara itu ada lima bentuk operasi intelijen, yaitu infiltrasi,penetrasi, spionase, sabotase, serta deception operation(operasi penyesatan). Media massa harus jadi sarana pencerdasan masyarakat. Kita harus mengadakan penggalangan isu agar masyarakat menjadi intelligent minded.

Tujuannya adalah agar masyarakat memahami peran intelijen. Harus dipahami bahwa intelijen itu sangat penting fungsinya bagi negara. Kalau intelijen lumpuh negara lumpuh,intelijen bubar negara bubar,sementara jika intelijen kuat maka negara akan kuat. Dalam kerangka intelligent minded itu,kita harus melirik siapa yang memiliki intelijen yang kuat?

Kemampuan ini ada pada TNI ––yang dulu membuatnya dibenci masyarakat. Semenjak direkrut, anggota TNI sudah memiliki darah intelijen.Namun saat ini kemampuan itu tidak dimanfaatkan. This is the beginning of the end and the end of the beginning.(*)

Dr AC Manullang
Pengamat Intelijen
dan Militer

Comments :

0 komentar to “ada Grand Strategy AS dibalik konferensi pers Presiden Susilo Bambang Yudhoyono”


Posting Komentar